Bandung, BandungOke — Gelaran 26th Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) AGM 2025 di Bali berakhir dengan nada optimis.
Namun di tengah tepuk tangan, tanya besar masih menggantung: sejauh mana agenda kemandirian vaksin benar-benar berpihak pada publik, bukan sekadar industri?
Selama tiga hari, 29–31 Oktober 2025, lebih dari 46 produsen vaksin dari 17 negara berkumpul membahas kemandirian produksi, inovasi teknologi, dan penguatan ekosistem imunisasi.
Badan global seperti WHO, GAVI, CEPI, dan UNICEF ambil bagian, mempertegas intensitas agenda global soal produksi vaksin.
Direktur Utama Bio Farma, Shadiq Akasya, menyampaikan optimisme lewat kolaborasi lintas negara.
“Kami percaya kolaborasi adalah kunci. memastikan tidak ada satu pun negara yang tertinggal dalam akses terhadap vaksin berkualitas,” ujarnya dalam siaran persnya, Rabu (5/11/2025)
Namun di balik pesan kuat itu, problem lama masih menggema, ketergantungan pada pendanaan global, kesenjangan kapasitas manufaktur, dan isu transparansi penetapan harga.
Pendanaan & Akses: Isu Lama yang Kembali
Dalam sesi “Global Economic Outlook 2025”, panelis memotret ancaman baru yakni pendanaan kesehatan global menurun pasca-pandemi. Saat risiko penyakit baru meningkat, beban biaya berpindah ke negara produsen.
Sementara aliansi vaksin digadang sebagai jalan keluar, publik menuntut kepastian bahwa inovasi tidak berakhir pada monopoli akses dan harga.
Di CEO Forum, arah diskusi banyak memusat pada industri, bukan publik. Lantas
pertanyaannya, Sejauh mana agenda inovasi tak menggeser prinsip keadilan?
Shadiq Akasya menyebut inovasi digital sebagai kunci efisiensi produksi.
“Masifnya transformasi digital dapat mendorong produksi vaksin lebih terjangkau,” katanya.
Namun hingga kini, belum ada komitmen publik mengenai mekanisme transparansi harga, distribusi, serta keterbukaan uji keamanan dan efektivitas.
Regulasi & Kemandirian Jadi Pekerjaan Rumah
Hari kedua melahirkan ambisi besar yakni harmonisasi regulasi antarnegara berkembang. Tujuannya mempermudah lisensi dan produksi.
Namun harmonisasi regulasi dapat menjadi pedang bermata dua, satu sisi mempercepat akses di satu sisi, namun berisiko menurunkan pengawasan mutu dan transparansi di sisi lain bila tidak melibatkan otoritas independen.
Forum “Future of Immunisation” bahkan mengangkat misi menurunkan anak tanpa imunisasi sebesar 25 persen. Target ambisius, tetapi tanpa kerangka pendanaan kuat, bisa berhenti sebagai jargon.
Transfer Teknologi: Masih Jadi Pertanyaan
Hari terakhir menegaskan pentingnya transfer teknologi sebagai kunci kemandirian.
Namun persoalan klasik tetap muncul:
Siapa yang menguasai paten? Bagaimana pemerintah memastikan teknologi tidak dikuasai elite industri?
Sampai penutupan, belum ada peta jalan yang mengikat.
CEO DCVMN, Rajinder Suri, menyebut forum ini menyuburkan peluang baru.
“Situasi ini penuh dengan kesempatan untuk tindakan berani dan pertemuan baru,” katanya.
Namun penyataan itu merangkum lebih banyak harapan ketimbang kepastian.
Suri juga mengumumkan Iin Susanti, Direktur Human Capital Bio Farma, sebagai Board Chair DCVMN untuk periode 2026–2029.
Posisi ini strategis. Namun publik layak tahu bagaimana mandat baru itu menjamin kemandirian, keterbukaan data, dan inklusivitas harga vaksin.
Pertemuan ini menunjukkan intensitas geopolitik vaksin yang kian padat.
Tetapi forum masih kuat berputar di orbit industri, sementara isu fundamental mulai dari transfer teknologi terbuka, hak paten, hingga keterjangkauan harga belum mendapat jawaban konkret.
Kemandirian vaksin tidak cukup hanya dengan membangun pabrik dan memamerkan kolaborasi global. Ia menuntut sistem regulasi solid, transparansi data, akses adil, serta penguatan riset publik.
Jika tidak, upaya membangun ekosistem vaksin yang “tangguh dan inklusif” hanya jadi slogan di panggung konferensi.***
Editor : Deny Surya






