Bandung, BandungOke – Hujan belum turun deras, tapi peringatan sudah keluar. Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, melempar sinyal keras: ancaman bencana bukan semata urusan alam. Kota kembang ternyata rapuh juga karena ulah manusianya sendiri.
Farhan menegaskan, banjir dan kerusakan infrastruktur di Bandung bukan hanya akibat cuaca ekstrem, melainkan kerap diperparah oleh perilaku warga—yang abai menjaga lingkungan. Saluran air tersumbat, got dipenuhi sampah, hingga gorong-gorong yang terhalang bangunan liar menjadi gambaran keseharian di beberapa sudut kota.
“Banjir itu sering kali terjadi karena kesalahan kita bersikap. Ini tanggung jawab kita semua,” tegas Farhan. Ia menuntut warga memastikan tali air dan drainase terbebas dari hambatan. Peringatan ini bukan isapan jempol: hujan berintensitas tinggi dan angin kencang diprediksi berpotensi merobohkan atap, menumbangkan pohon, bahkan merusak permukiman.
Farhan juga memperingatkan soal penanganan mandiri yang sembrono. Jika mendapati pohon rawan tumbang, warga diminta tidak menebang sembarangan. “Silakan berkoordinasi lebih dulu dengan camat atau lurah setempat agar bisa diteruskan kepada DPKP,” ujarnya.
Melalui langkah taktis, Pemerintah Kota Bandung berjanji memperkuat mitigasi: membersihkan saluran air, memantau pohon rawan tumbang, serta menyiagakan petugas kebersihan dan respons darurat di tiap wilayah. Tapi semua itu tak ada artinya tanpa kesadaran kolektif.
Bandung, kota yang akrab dengan ancaman banjir saban musim hujan, kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: sampai kapan warga membebankan semua pada alam dan pemerintah? Farhan menekankan, kolaborasi adalah kunci. Tanpa perubahan perilaku publik, peringatan hanya akan menjadi ritual tahunan.
Warga yang menghadapi kondisi darurat dapat menghubungi layanan 112. Sementara, kota menunggu: apakah warganya akan ikut menjaga lingkungan, atau membiarkan bencana terus berulang?***






