Bandung, BandungOke – Kunjungan Menko Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar dan Menteri UMKM Maman Abdurrahman ke Kawasan Laswi Heritage, Bandung, Rabu (5/11/2025), menandai babak baru pemanfaatan aset negara di tangan PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Di atas kertas, proyek ini disebut sebagai etalase pemberdayaan UMKM. Namun, proyeksi pembangunan kawasan komersial seluas 20,6 hektare selama 50 tahun melalui skema BOT membuka ruang pertanyaan, siapa yang akan paling diuntungkan?
Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin menyebut kawasan itu dirancang sebagai ruang kolaboratif yang memajukan UMKM.
“Kami ingin Laswi Heritage menjadi simbol kolaborasi dan kemandirian ekonomi rakyat,” ujarnya. KAI berjanji memberikan akses sewa terjangkau bagi pelaku usaha kecil agar mereka dapat tumbuh bersama.
Di atas panggung konferensi, narasi demokrasi ekonomi mengemuka. KAI menampilkan diri sebagai lokomotif pemberdayaan rakyat bukan hanya operator transportasi.
Namun, dalam praktiknya, transformasi aset negara menjadi kawasan komersial kerap menyisakan persoalan bagaimana memastikan UMKM tidak tersisih oleh dinamika pasar dan investor besar?

Track Record Pemberdayaan UMKM
VP Public Relations KAI Anne Purba menuturkan bahwa sepanjang Januari–September 2025, KAI telah melibatkan 1.059 UMKM dalam sertifikasi, pelatihan, hingga pameran nasional dan internasional.
Jejak kolaborasi itu tampak di ruang UMKM di stasiun-stasiun besar seperti Purwokerto dan Pekalongan hingga Museum Ambarawa.
Namun, skala pelatihan dan pameran belum otomatis menjamin naik kelas. Kerapkali, pembinaan hanya berlangsung sebentar sebelum pelaku UMKM kembali berhadapan dengan realitas tinggi biaya produksi dan akses pasar yang terbatas.
Mereka membutuhkan model bisnis yang lebih stabil, bukan sekadar ruang pamer temporer.
Proyek 50 Tahun: Siapa Menentukan Arah?
Laswi Heritage telah berstatus legal dan clean and clear sejak 2022. KAI merencanakan pengembangan “Laswi City”, kawasan komersial mixed-use dalam skema BOT selama 50 tahun.
Narasi heritage digabungkan dengan semangat wirausaha modern.
Namun, skema investasi jangka panjang acap kali menyisakan ruang bias: siapa pengelola utama? Bagaimana proporsi keuntungan? Apakah UMKM tetap prioritas, atau hanya aksesori yang mempercantik branding kawasan?
Di tengah budaya kota yang terus tumbuh, revitalisasi ruang publik bukan sekadar membangun ruko dan ruang sewa baru. Pertanyaannya: apakah UMKM akan tumbuh sejajar, atau justru tersingkir oleh pemain besar yang mampu membayar lebih?
Dinamika Ruang dan Kepentingan
Revitalisasi kawasan heritage seperti Laswi mudah menjadi arena tarik-menarik antara nilai sejarah, kepentingan komersial, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Visinya ambisius, menghubungkan memori Bandung tempo dulu dengan pasar masa kini. Tetapi, tanpa regulasi ketat, komersialisasi bisa merampas makna heritage itu sendiri.
Sejauh ini, komitmen KAI menjanjikan ruang sewa terjangkau. Namun, publik menanti transparansi mekanisme kurasi, harga, durasi sewa, hingga manajemen kawasan.
Tanpa pengawasan, proyek yang dijual sebagai pemberdayaan UMKM bisa berubah menjadi properti premium yang menjauh dari misi sosialnya.
Laswi Heritage berada di persimpangan: menjadi model baru demokrasi ekonomi, atau sekadar brosur cantik dari strategi komersialisasi aset negara.***






