Bandung, BandungOke – Wajah hutan Jawa Barat kian kusam. Bukan hanya karena perambahan yang tak terkendali, tetapi juga karena institusi negara yang mestinya menjadi penjaga justru diduga ikut mendorong kerusakan.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin, menyebut tiga lembaga negara sebagai aktor utama kerusakan lingkungan: Perhutani, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan PTPN.
“Ini sudah terjadi semacam pembiaran oleh negara yang memperkosa hutan di Jawa Barat,” ucap Wahyudin, dikutip Jumat (7/11/2025)
Iwang, demikian ia akrab disapa, mengungkap fakta mencemaskan: 1,2 juta hektare hutan di Jawa Barat porak-poranda. Kerusakan tak hanya dalam skala ekologis, tetapi juga perubahan fungsi besar-besaran yang menggerus ekosistem.
Banyak kawasan yang dulunya zona perlindungan kini berubah menjadi destinasi wisata dengan bangunan massif.
“Kita melihat kerusakan sudah terjadi di semua kota kabupaten di Jawa Barat,” katanya.
Tambang Liar yang Dibiarkan
Contoh paling brutal terjadi di Kabupaten Bogor. Iwang menyebut ada sekitar 250 penambang emas ilegal beroperasi di wilayah itu. Aktivitas mereka telah lama diketahui, tetapi tak ada langkah serius dari negara untuk menghentikannya.
“Ini juga seperti yang sengaja dibiarkan,” tegasnya.
Praktik destruktif itu seolah mendapat legitimasi akibat minimnya penindakan. Secara perlahan, hutan yang seharusnya steril dari aktivitas ekonomi berubah fungsi.
Di banyak titik, konversi kawasan berjalan halus—dari hutan perawan menjadi ruang produksi dan wisata.
Ironi: Cagar Alam Beralih Fungsi
Walhi menyoroti kawasan konservasi yang seyogianya dijaga ketat. Secara aturan, memasuki wilayah cagar alam saja harus melalui prosedur ketat.
Namun realitas di lapangan, bangunan wisata berdiri tanpa kontrol, dan akses terbuka bagi komersialisasi.
“Tapi kan kita lihat sendiri kondisi kerusakan hutan di Jawa Barat hari ini,” ujarnya, suaranya berat.
Di sejumlah lokasi, tutupan hutan merosot tajam, menyisakan luka ekologis. Fragmentasi habitat tak terhindarkan—mengganggu jalur satwa, menurunkan kualitas tanah, merusak sumber air. Walhi menilai ketiga institusi itu gagal mengontrol dan justru membuka ruang eksploitasi.
Protes yang Tak Didengar
Walhi mengaku telah berulang kali menyampaikan protes kepada pemerintah kabupaten, kota, hingga provinsi. Namun, kebijakan tak bergeser.
Penegakan hukum kerap mandek, sementara kerusakan terus menggerogoti. Praktik pembiaran meluas, seolah negara tak sepenuhnya hadir.
“Kerusakan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Sudah terjadi sejak dahulu,” kata Iwang.
Harapan yang Belum Padam
Meski situasi tampak suram, Iwang masih percaya pada kemungkinan pemulihan. Ia menilai masih banyak kekuatan akar rumput, mulai dari komunitas hingga kampung adat, yang tetap menjaga hutan agar tetap lestari.
Organisasi masyarakat adat terbukti menjadi benteng terakhir—yang melawan ekspansi dan menjaga tradisi konservasi tanpa pamrih. Harapan besar tersimpan pada inisiatif lokal yang tak mudah tunduk pada logika eksploitasi.
Kerusakan hutan Jawa Barat adalah kenyataan pahit yang menuntut keberanian politik. Tuduhan Walhi terhadap Perhutani, BKSDA, dan PTPN membuka kembali perdebatan soal mandat negara: melindungi atau merusak?
Di tengah ribuan hektare yang hilang dan ratusan penambang liar dibiarkan beroperasi, publik menunggu jawaban yang tak kunjung datang.
Jika negara terus absen, hutan Jawa Barat tinggal menunggu waktu. Saat itu tiba, bukan hanya pepohonan yang hilang—melainkan masa depan.






