Bandung, BandungOke – Di tengah pesatnya pertumbuhan bisnis tanaman hias, anggrek menjadi primadona yang menjanjikan.
Permintaan dunia meningkat, harga stabil bahkan terus menanjak, dan potensi ekspor terbuka lebar.
Namun di balik keindahannya, bisnis anggrek di Indonesia justru terjebak dalam belitan aturan ekspor yang rumit dan minim dukungan nyata dari pemerintah.
Arief Setiono, pebisnis anggrek asal Bandung yang telah menekuni usaha ini selama enam tahun, menuturkan bahwa usaha penyewaan anggrek kini tumbuh signifikan.
“Yang namanya hobi sudah tidak mengenal waktu. Kudu leukeun ngoprek anggrek (harus fokus merawat anggrek),” katanya dalam diskusi Hilal: Mencari Solusi di Media Center Masjid Raya Bandung. Rabu (12/11/2025)
Dari kecintaan itu, Arief mengembangkan bisnis penyewaan anggrek yang kini banyak diminati. Sejumlah perkantoran, hotel, dan perusahaan besar seperti Bank BCA dan BJB mulai memanfaatkan anggrek sebagai elemen estetika ruang kerja mereka.
“Bisnis ini terus tumbuh dan menyerap tenaga kerja. Bahkan harga anggrek bisa dibilang mirip emas terus naik,” ujarnya.
Namun, Arief mengungkapkan sisi getir dari bisnis yang dianggap menjanjikan ini. “Sayang sekali, kreativitas luar biasa di dunia anggrek tidak mendapat dukungan nyata dari pemerintah,” keluhnya.
Ia mencontohkan, aturan ekspor yang berlaku saat ini justru membelenggu pelaku usaha. Di saat permintaan internasional terhadap anggrek Indonesia tinggi, regulasi birokratis membuat potensi ekonomi dari bunga tropis ini sulit berkembang.
“Pemerintah seakan tidak melihat bahwa anggrek bukan sekadar hobi, tapi sektor ekonomi kreatif yang bisa membuka lapangan kerja dan mengharumkan nama Indonesia di pasar global,” ujar Arief.
Bisnis anggrek menjadi cermin klasik dari bagaimana kreativitas masyarakat tumbuh subur di sisi swasta, namun tidak diimbangi dukungan kebijakan publik.
Dalam konteks ini, pemerintah seolah absen menghadirkan regulasi yang mendorong pelaku usaha kecil menengah menembus pasar dunia.
Di tengah geliat ekonomi hijau dan tren global akan produk ramah lingkungan, abainya dukungan terhadap pebisnis anggrek hanya mempertegas jurang antara potensi dan kebijakan.
Jika dibiarkan, anggrek yang menjadi simbol keindahan dan ketekunan bisa layu bukan karena kurang perawatan, melainkan karena tak mendapat sinar dari regulasi yang berpihak.***






