Bandung, BandungOke – Perjalanan karier Ayo Sunaryo terasa seperti rangkaian koreografi yang disusun dengan kesabaran panjang.
Dosen Pendidikan Seni Tari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu resmi meraih Anugerah Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat 2025 untuk kategori seni tradisi bidang tari.
Penghargaan ini menjadi penegasan atas dedikasinya yang nyaris tiga dekade bergelut dengan dunia seni pertunjukan dan pendidikan budaya.
Saat ini, Ayo Sunaryo menjabat sebagai Kepala UPT Kebudayaan UPI, sekaligus mengajar di Program Studi Pendidikan Seni Tari. Perannya bukan hanya mendidik mahasiswa menjadi calon pendidik dan peneliti seni tari, tetapi juga menjaga kesinambungan tradisi sebagai fondasi kreativitas.
“Tradisi adalah bahan baku yang melimpah. Ia bisa diciptakan kembali dalam bentuk apa pun selama berakar,” ujar Ayo kepada BandungOke. Sabtu (15/11/2025)
Jejak dari Sawah Subang ke Pentas Dunia
Lahir di sebuah dusun di Kabupaten Subang, masa kecil Ayo dipenuhi irama kehidupan pedesaan seperti petani membajak tanah, burung pipit, wuluku, jerami, hingga kolecer yang terus berputar tertiup angin.
Dari lingkungan itu pula ia menyerap ragam kesenian lokal seperti sisingaan, bajidoran, pencak silat, banjet, hingga wayang golek.
Hasratnya pada seni tradisi membawanya hijrah ke Bandung dan menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Bandung.
Ia kemudian melanjutkan ke jurusan Pendidikan Seni Tari UPI, meraih gelar cum laude, lalu menyelesaikan Magister Pendidikan Seni pada 2004. Setahun kemudian, ia resmi mengabdi sebagai pengajar di UPI.
Ayo Sunaryo juga mendirikan ARGA Studio, wadah kreasi tari berakar budaya lokal yang mendorong lahirnya karya-karya kontemporer berbasis tradisi.
Tiga Dekade Koreografi dan Ruang Kelas
Rangkaian karyanya panjang dan konsisten. Ia memulai 1998 dengan koreografi Susuk dan Katel, lalu menciptakan Piring Seng, Lemah Cai Kulup, hingga Sang Prabu yang tampil di berbagai panggung Jawa Barat.
Karyanya sering bersinggungan dengan alam, tanah, dan laku masyarakat desa, sebuah tema yang tumbuh dari masa kecilnya. Pada 2002, ia berkolaborasi dalam proyek Indonesia–Jerman melalui karya Air dan Orang-Orang Sawah.
Tahun-tahun berikutnya, karyanya tampil di STSI Bandung, Taman Budaya Jawa Barat, hingga festival internasional di Peru dan Jepang.
Di tengah aktivitasnya sebagai dosen, ia tetap produktif mencipta. Tahun 2007, ia menelurkan karya Kata-Kata Wot Angin di Selasar Sunaryo, lalu memproduksi dramatari, teater, dan tari kontemporer hingga 2009.
Karya-karyanya tidak hanya berkembang di ruang kampus, tetapi juga memperkaya diskursus tari Indonesia melalui pendekatan kontemporer yang memakai tradisi sebagai denyut utama.

Anugerah untuk Mereka yang Menjaga Akar
Anugerah Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat 2025 diumumkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) setelah menyeleksi sepuluh tokoh dan lembaga pelestari budaya.
Mereka datang dari latar seni yang beragam: mamaos, pengrawit, pendongeng, dalang sastra, hingga pelestari kolecer.
Pamong Budaya Disparbud KBB, Asep Diki, menyebut penghargaan ini sebagai bentuk implementasi Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
“Ini penghormatan bagi para pelaku budaya yang dengan ketulusan hati menjaga warisan leluhur. Setiap nama punya perjalanan panjang yang tidak main-main,” ujarnya.
Masuknya nama Ayo Sunaryo dalam daftar penerima penghargaan tahun ini menegaskan perannya sebagai penghubung generasi. Ia menyusun tari, meneliti tradisi, dan menanamkan nilai budaya kepada mahasiswa yang kelak menjadi guru seni di seluruh Indonesia.
Penghargaan itu bukan sekadar capaian pribadi. Ia menjadi momentum untuk kembali memaknai tradisi sebagai sumber belajar yang terus hidup, sebuah pandangan yang Ayo Sunaryo pegang erat sejak masa kecilnya di Subang hingga kini berdiri di jajaran tokoh kebudayaan Jawa Barat.**






