Jakarta, BandungOke – Di tengah tekanan mobilitas urban yang terus menanjak, KRL Jabodetabek kembali menunjukkan peran kuncinya sebagai penggerak ekonomi wilayah megapolitan.
Purna tugasnya KRL Tokyu Seri 8500 yang akrab disebut JALITA menjadi penanda babak baru transformasi angkutan massal berbasis rel, tepat saat kebutuhan perjalanan cepat dan efisien berada di titik tertinggi.
KAI Commuter kini mengoperasikan 1.063 perjalanan per hari, didukung 102 trainset atau 1.072 unit KRL aktif.
Pada Januari–Oktober 2025, jumlah penumpang mencapai 287,3 juta, atau rata-rata lebih dari 20 juta penumpang setiap bulan. Lonjakan ini menegaskan pola komuter Jabodetabek yang makin masif, dengan pusat aktivitas ekonomi terus melebar dari inti Jakarta.
Dalam suasana nostalgia, ribuan warga memenuhi Stasiun Jakarta Kota untuk menyaksikan langkah terakhir JALITA pada Minggu (16/11).
Kereta yang tiba di Indonesia pada 2006 dan menjadi sarana pertama milik langsung KAI Commuter setelah pemisahan entitas pada 2009 ini telah mengawal modernisasi layanan selama hampir dua dekade mulai penerapan AC, perbaikan kapasitas, hingga pembenahan kenyamanan ruang.
Transformasi itu kini semakin terkonsolidasi. “Selama Jabodetabek menjadi wilayah hunian terpadat, Commuter Line akan selalu menjadi etalase layanan kereta api nasional,” ujar Ignasius Jonan, Dirut KAI 2009–2014, yang turut mendampingi perjalanan terakhir JALITA dari Jakarta Kota ke Depok.
Ia menegaskan bahwa kebutuhan sarana andal dan frekuensi tinggi akan terus meningkat seiring “peradaban urban yang makin maju.”
Mini Museum JALITA yang digelar 10–16 November turut menghidupkan memori publik terkait tiga seri legendaris—JALITA, Tokyu 7000, dan JR203.
Total 20.426 pengunjung hadir dalam sepekan, memperlihatkan kuatnya ikatan emosional masyarakat terhadap moda transportasi ini.
Selain menampilkan sejarah sarana, pameran memuat edukasi keselamatan, kampanye antikekerasan seksual, hingga informasi sarana modern.
Anne Purba, VP Public Relations KAI, menyebut pameran ini sebagai simbol kolaborasi KAI, KAI Commuter, dan komunitas seperti IRPS dalam merawat literasi transportasi publik.
“KRL adalah bagian dari kehidupan warga Jabodetabek. Edukasi yang kami tampilkan menjadi upaya bersama untuk membangun layanan yang aman, ramah, dan berkelanjutan,” kata Anne.
Ia menambahkan bahwa regenerasi sarana menjadi agenda strategis perusahaan. Investasi dilakukan bertahap untuk menjaga kapasitas dan kualitas layanan agar tetap menjadi pilihan utama komuter. “Purna tugas sarana legendaris ini membuka ruang bagi sarana yang lebih modern,” ucapnya.
Pelepasan JALITA menjadi momen historis, namun sekaligus menegaskan arah baru: mobilitas perkotaan Jabodetabek membutuhkan infrastruktur rel yang terus ditingkatkan lebih cepat, lebih luas, dan lebih konsisten. Transformasi itu telah berjalan, dan tuntutan ekonomi urban memastikan ia tak boleh berhenti.***






