Bandung, BandungOke — Di sebuah rumah di Jalan Jati, Bandung, kreativitas dan inklusivitas bertemu dalam wujud Puka Creative House. Sejak berdiri pada 2015, UMKM sosial ini berkembang menjadi ruang berkarya bagi penyandang disabilitas, khususnya mereka yang memiliki keterampilan kriya dari berbagai Sekolah Luar Biasa (SLB).
Puka—yang juga dikenal sebagai Pulas Katumbiri—tidak sekadar memproduksi tas dan aksesori. Ia menjadi model pemberdayaan yang dirancang dengan kesadaran: karya teman-teman disabilitas tak seharusnya hanya tersimpan di lemari kelas vocational SLB. Mereka berhak mendapatkan tempat di pasar.
Founder Puka, Dessy Nur Anisa Rahma, bercerita bagaimana Puka tumbuh dari skala rumahan hingga menggandeng Dinas Sosial Jawa Barat, komunitas tuli, hingga penyandang down syndrome di Kota Bandung.
“Ketika kami bertemu dan mencoba bekerja bersama, hasil karyanya sangat bagus,” ujarnya.
“Lewat Puka, karya mereka bisa bernilai ekonomi dan bermanfaat langsung.”
Kini, ada 15 pekerja disabilitas berusia 19–54 tahun yang aktif memproduksi ragam kriya. Puka juga membuka toko resmi di The Park Jabar—langkah yang memperkuat akses pasar sekaligus membangun kepercayaan publik.
Namun bekerja dalam ekosistem inklusif bukan tanpa tantangan. Dessy menyebut miskomunikasi, terutama dengan rekan tuli, kerap terjadi. Tapi itu bagian dari proses belajar.
“Mereka memberi warna baru untuk kami,” kata Dessy. “Ada banyak potensi yang bisa dikembangkan.”
Puka menargetkan perluasan dampak sosial ke depan: mempekerjakan lebih banyak penyandang disabilitas dan memperkenalkan karya mereka ke audiens yang lebih luas. Sebuah gerakan kecil yang memperlihatkan bagaimana kreativitas bisa membuka pintu kesetaraan.***






