Bandung, BandungOke – Forum Dangiang Siliwangi (FDS) kembali mengangkat isu ekologis yang kian mendesak lewat diskusi publik bertema lingkungan hidup, Selasa, 25 November 2025, di Sekretariat Angkatan Muda Siliwangi (AMS), Jl. Braga, Kota Bandung.
Dalam tradisi kritik yang tajam khas Jawa Barat, forum ini menghadirkan tiga perspektif berbeda: aktivis lingkungan hidup, birokrasi pemerintah, dan kajian hukum.
Aktivis lingkungan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Supardiyono Sobirin, menempatkan kondisi lingkungan Bandung Raya pada level “titik genting”.
Menurutnya, persoalan sampah bukan sekadar teknis operasional. Ada kegagalan budaya dan tata kelola yang membuat masalah ini seperti lingkaran tak berujung.
“Kita terbiasa menganggap sampah hilang setelah dibuang. Padahal persoalan justru dimulai dari situ,” tegas Sobirin dikutip Rabu (26/11/2025)
Ia mengkritik pola pikir reaktif pemerintah dan masyarakat yang lebih sibuk memadamkan masalah ketimbang mencegahnya. Pengabaian terhadap daya dukung lingkungan, kata Sobirin, membuat kota kehilangan kualitas dasarnya: sungai kotor, udara tercemar, dan ruang terbuka hijau yang terus menghilang.
Sementara itu, dari perspektif birokrasi, Sekretaris DLH Kota Bandung, Dadang Setiawan, tak menampik tantangan besar yang masih membelit pengelolaan sampah kota. Keterbatasan lahan, kebiasaan warga, serta keterbatasan regulasi dan teknis masih menjadi hambatan konsisten.
“Kami tidak menutup mata. Kota Bandung masih berproses menuju sistem pengelolaan sampah yang ideal,” ujar Dadang.
Ia menyebut upaya penguatan edukasi 3R serta aktivasi bank sampah sebagai langkah yang sedang ditingkatkan pemerintah. Namun, ia menegaskan bahwa perubahan mustahil berjalan jika hanya dibebankan kepada pemerintah.
“Butuh peran masyarakat agar transformasi pengelolaan sampah menjadi nyata,” ujarnya.
Dimensi hukum datang dari Dr. Indra Prawira, akademisi Unpad, yang memberikan kerangka tegas soal tanggung jawab negara dalam urusan sampah. Ia menekankan perlunya pemerintah mengakui bahwa sampah adalah urusan pemerintah, mengingat masyarakat sudah membayar retribusi.
“Dengan mengakui bahwa urusan sampah adalah tanggung jawab pemerintah maka tidak perlu lagi saling lempar kewenangan,” kata Indra.
Ia menggarisbawahi pentingnya intervensi pemerintah di tingkat yang lebih tinggi ketika satu tingkatan gagal bekerja. Intervensi itu termasuk koordinasi lintas daerah, bukan hanya melempar kesalahan tanpa solusi.
FDS menegaskan, krisis sampah Bandung bukan lagi persoalan yang bisa ditunda. Solusi harus segera diambil, tetapi tetap berkelanjutan dan berbasis tata kelola yang kuat.
Isu lingkungan, kata mereka, bukan sekadar teknis, tetapi soal hak warga atas kota yang layak, bersih, dan sehat.***






