Tasikmalaya, BandungOke — Kebijakan rotasi Kepala Sekolah yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) kembali disorot. Bukan hanya soal jarak penempatan yang tak ramah keluarga, namun kini menyentuh sisi paling dasar dari tugas negara: kemanusiaan.
KDM dalam arahannya pada pelantikan 641 kepala sekolah—yang digelar di halaman Gedung Sate, 29 Oktober 2025 silam menegaskan komitmennya. Ia berjanji akan merevisi SK bila ada kepala sekolah yang ditempatkan jauh dari keluarga dan domisili. Namun janji itu kini diuji oleh satu kasus yang mengiris nalar publik.
Kepala Sekolah Lumpuh, Ditempatkan 60 Km dari Rumah
Di SMAN 8 Kota Tasikmalaya, kegelisahan itu nyata. Para guru dan wakil kepala sekolah mendesak agar KDM meninjau ulang penempatan Tarso Sutarso, M.Pd., kepala sekolah yang kini memimpin sekolah mereka.
Tarso bukan sekadar berjarak jauh dari rumah—ia mengalami kelumpuhan, sulit berjalan, dan sudah hampir dua tahun sakit.
Tarso tinggal di Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya. Jarak yang harus ditempuh menuju sekolah tempat ia ditugaskan mencapai lebih dari 60 kilometer, medan yang mustahil dilalui tanpa bantuan keluarga. Ia pun selalu diantar kerabat untuk hadir di sekolah.
H. Dudung Abdul Halim, M.Pd., Wakasek Sarpras, tak kuasa menyembunyikan keprihatinannya.
“Beliau lumpuh, stroke, nggak bisa jalan. Mampu memimpin masih bisa, tapi secara fisik jelas kasihan. Jangan ditempatkan sejauh ini,” ujarnya di SMAN 8, Jumat (28/11/2025).
Suara Kemanusiaan dari Ruang Guru
Nada serupa datang dari Wakasek Humas, Bambang Sutejo, S.Pd., yang menilai penugasan ini sudah menyimpang dari prinsip dasar: empati manusia.
“Kita bicara dari sisi kemanusiaan. Beliau tidak bisa berjalan. Jarak sejauh itu memberatkan—bukan hanya bagi Pak Tarso, tapi bagi keluarga yang merawatnya,” kata Bambang.
Istri Tarso sendiri adalah PNS yang bertugas di kampung halaman mereka di Bantarkalong. “Kalau dirotasi kembali dekat rumahnya, cuma 10 menit juga sampai sekolah. Bahkan ada kepala sekolah dari Bantarkalong yang bisa ditarik ke sini. Kebetulan dia juga orang Tasikmalaya,” tambah Bambang.
Di balik kecemasan itu, para guru menilai kasus Tarso bukan sekadar persoalan administratif. Ini menguji keseriusan KDM dalam menepati janji revisi SK.
“Ini bukan soal mutasi, ini soal kemanusiaan yang harus diprioritaskan,” tegas Bambang.
Cabdin Sudah Tahu, Tapi Penugasan Tetap Jalan
Lebih jauh, Bambang mengungkap bahwa kondisi Tarso sudah diketahui Cabang Dinas Pendidikan Wilayah XII. Namun penempatan tetap berjalan tanpa mempertimbangkan kondisi fisik kepala sekolah tersebut.
Kondisi ini semakin ironis mengingat posisi Kepala SMAN 8 sudah lama kosong. “Sudah tujuh kali ganti Plt, hampir tiga tahun tidak ada kepala sekolah definitif,” kata Bambang.
Guru-guru SMAN 8 menegaskan harapan mereka: BKD dan Disdik Jawa Barat segera turun tangan dan mempertimbangkan ulang penempatan Tarso. “Ini bukan tuntutan berlebihan. Ini soal martabat manusia,” ujar seorang guru yang enggan disebutkan namanya.
Kebijakan publik sering kali diuji bukan oleh angka dan target, melainkan oleh wajah manusia yang terdampak. Kasus Tarso Sutarso kini menjadi cermin yang memantulkan pertanyaan tajam kepada KDM, Apakah janji revisi SK benar dijalankan, atau sekadar retorika di mimbar pelantikan?
Sampai revisi itu diteken, para guru SMAN 8 Tasikmalaya hanya bisa menunggu seraya berharap kemanusiaan masih menjadi inti dari kebijakan pendidikan Jawa Barat.***






