Jakarta, BandungOke – Drama tumbler yang sempat viral di jagat media sosial akhirnya mereda.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) menggelar pertemuan mediasi antara petugas Passenger Service Stasiun Rangkasbitung dan penumpang Commuter Line yang melaporkan barangnya tertinggal.
Suasana yang sebelumnya tegang di linimasa itu berubah cair, bahkan berakhir dalam nuansa kekeluargaan di Kantor KAI Wisata, Stasiun Gondangdia, Kamis malam (27/11).
Dalam pertemuan yang berlangsung hampir satu jam itu, kedua belah pihak menyampaikan penjelasan masing-masing, menyamakan persepsi, lalu sepakat menutup persoalan dengan damai. KAI berharap langkah ini mampu meredam simpang siur informasi yang kadung menyebar luas di media sosial.
Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin menegaskan perusahaan tidak hanya menjaga standar layanan, tetapi juga melindungi para pekerjanya yang berada di garis depan operasional.
“Setiap insan KAI berkomitmen melayani pelanggan dengan dedikasi tinggi. Perusahaan berkewajiban memberikan dukungan penuh kepada seluruh pekerja. Argi tetap menjadi karyawan KAI Group, bagian dari garda terdepan pelayanan. Terus semangat bertugas,” kata Bobb dikutip Jumat (28/11/2025)
Sikap terbuka KAI juga disampaikan oleh VP Corporate Communications KAI Anne Purba. Anne menegaskan bahwa isu pemecatan petugas hanyalah kabar yang bergulir tanpa dasar.
“Tidak ada pemecatan sebagaimana isu yang beredar. KAI memastikan seluruh proses pelayanan berjalan sesuai ketentuan,” ujarnya.
Anne menambahkan, KAI Group melalui KAI Commuter dan KAI Wisata akan melakukan evaluasi menyeluruh untuk memperkuat koordinasi pelayanan—mulai dari standar komunikasi petugas hingga prosedur penanganan barang tertinggal. Fokusnya adalah mempercepat respons, memastikan informasi akurat, dan menjaga kepercayaan publik.
Di sisi lain, KAI mengimbau pelanggan agar lebih memperhatikan barang bawaan, baik di stasiun maupun selama perjalanan. Kasus tumbler ini menjadi pengingat bahwa prosedur lost and found tetap membutuhkan kehati-hatian dari kedua pihak: penumpang dan petugas.
Pada akhirnya, insiden yang sempat “meledak” di media sosial ini mereda dengan catatan: bahwa ruang publik digital kadang membesarkan hal kecil, dan mediasi tatap muka masih menjadi cara paling manusiawi untuk menyelesaikannya.***






