Bandung, BandungOke – Ledakan bencana alam yang menghantam berbagai provinsi Indonesia beberapa pekan terakhir bukanlah kebetulan alam.
Dari banjir bandang di Sumatera Utara hingga tanah ambles dan longsor di puluhan titik Jawa Barat, pola kerusakan yang muncul tampak terlalu terstruktur untuk sekadar disalahkan pada cuaca ekstrem.
Walhi Jabar menyebutnya dengan tegas ini adalah bencana ekologis, bukan bencana hidrometeorologis semata.
“Banjir bandang, longsor, tanah amblas, bukan semata-mata karena intensitas hujan. Ada faktor kuat yang memicu kerentanan itu, salah satunya deforestasi besar-besaran, pembukaan lahan tambang, hingga ekspansi properti dan wisata,” kata Wahyudin Koordinator Walhi Jabar dikutip Selasa (2/12/2025)
Masifnya Kerusakan: Negara Ada, Namun Tidak Hadir
Kang Iwang sapaan akrab Wahyudin menuturkan data Walhi menunjukkan dalam dua tahun terakhir, 2023–2025, tutupan hutan Jawa Barat mengalami penyusutan hingga 43 persen. Angka ini bukan hanya mengkhawatirkan, tetapi mengungkap betapa agresifnya kawasan lindung dan hutan produksi berubah fungsi menjadi tambang, objek wisata, hingga proyek strategis nasional.
Ironisnya, kawasan konservasi yang dikelola BBKSDA pun tetap menyusut, bahkan di beberapa titik berdiri bangunan permanen di zona konservasi, tanpa penindakan.
“Kegiatan itu dibiarkan saja,” ujar Kang Iwang, tajam.
Tambang Ilegal: Dari Sumedang sampai Tasikmalaya, Negara Seakan Tak Bernyali
Walhi mencatat 176 titik tambang ilegal di Jawa Barat sepanjang 2024. Angka itu tersebar merata, dengan Sumedang dan Tasikmalaya berada di posisi paling parah—masing-masing 48 titik. Bahkan lebih ironis lagi, 54 perusahaan tambang berizin habis pada 2023, namun tetap dibiarkan beroperasi.
“Pemerintah tidak pernah mengurus, apalagi menertibkan perusahaan yang izinnya habis tapi masih jalan. Ini pembiaran struktural,” kata Kang Iwang.
Alih Fungsi Lahan: Krisis yang Disetujui oleh Pemerintah
Alih fungsi lahan di kawasan resapan air tumbuh seperti kanker. Area persawahan menyusut hingga 20 hektare per tahun, seiring derasnya izin mendirikan bangunan yang terus keluar dari pemerintah daerah.
Di banyak kawasan PTPN, lahan HGU yang kedaluwarsa justru berubah menjadi kondominium dan destinasi wisata berkedok ramah lingkungan.
“Yang terjadi justru betonisasi masif yang menghilangkan daya serap air. Ini degradasi, bukan pembangunan,” tegas Kang Iwang.
Mitigasi Bencana: Pemerintah Bergerak Setelah Viral
Walhi menilai pemerintah hanya menunjukkan gerak mitigatif ketika bencana telah viral di media sosial. Tanpa data dasar, tanpa perencanaan, tanpa pemulihan lahan kritis—yang kini mencapai 900 ribu hektare tanpa reboisasi serius.
“Begitu ada bencana, baru berbondong-bondong datang, pasang muka seolah pahlawan. Tapi penegakan hukum lemah, data tidak ada, dan lahan kritis dibiarkan,” katanya.
Jawa Barat di Ujung Tanduk
Sebagai provinsi dengan tingkat kerentanan bencana tertinggi di Indonesia—mulai tsunami, gunung meletus, hingga banjir bandang dan puting beliung—Jawa Barat seharusnya menjadi wilayah dengan pengelolaan lingkungan paling ketat.
Namun faktanya justru sebaliknya: izin tambang, izin properti, dan proyek-proyek rakus ruang terus digelontorkan.
“Alam sedang mengingatkan atas keserakahan manusia. Jika tidak berhenti, Jawa Barat akan menghadapi bencana yang jauh lebih besar,” ujar Kang Iwang.
Seruan Keras Walhi: Setop Legitimasi Kerusakan
Walhi mendesak pemerintah menjalankan mitigasi bencana dengan serius. Pengetatan aktivitas di kawasan hutan, perlindungan kawasan imbuhan air, dan identifikasi wilayah rawan bencana harus segera dimulai. Penegakan hukum harus nyata, tanpa pandang bulu.
“Beri sanksi tegas, baik kepada pengusaha maupun pejabat pemberi izin. Jika tidak, bencana hanya akan makin besar dan makin sering,” tutup Kang Iwang.***






