Bandung, BandungOke – Banjir dan longsor yang meratakan jalan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada awal Desember ini menciptakan wilayah-wilayah yang terputus dari dunia luar.
Truk logistik kesulitan menembus jalan rusak, sementara warga di pengungsian mulai kehabisan stok pangan. Dalam kegentingan itu, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) memilih rute yang paling mungkin: mengirim bantuan lewat udara.
Dari Lanud Halim Perdanakusuma, paket bantuan darurat diberangkatkan menggunakan pesawat TNI Angkatan Udara—pilihan yang mempercepat distribusi ke daerah-daerah yang infrastrukturnya lumpuh.
Langkah ini bukan sekadar rutinitas Tanggung Jawab Sosial & Lingkungan (TJSL), melainkan pesan bahwa industri pertahanan nasional memiliki peran yang lebih luas: hadir ketika negara membutuhkan kecepatan.
Misi Darurat: Peran Industri Dirgantara dalam Krisis
Sebagai bagian dari Holding Defend ID, PTDI tak hanya mengurusi kontrak pesawat dan manufaktur aerostruktur. Dalam situasi darurat, kompetensi udara berubah menjadi instrumen kemanusiaan. Kolaborasi mereka dengan BNPB membentuk jalur distribusi yang lebih efektif—sebuah sinergi teknis yang diterjemahkan menjadi harapan di lapangan.
“Kami bergerak cepat agar bantuan tiba di lokasi yang paling membutuhkan,” ujar Direktur Keuangan, Manajemen Risiko & SDM PTDI, Dhias Widhiyati. Infrastruktur rusak, BBM terbatas, dan cuaca yang tak menentu membuat distribusi udara menjadi satu-satunya cara menembus lokasi terdampak.
Bantuan dari Karyawan, Dikirim hingga ke Titik Terdalam
Paket bantuan yang dikirim PTDI tidak asal disusun. Bahan pangan, air mineral, makanan instan, perlengkapan bayi, selimut, hingga perlengkapan sanitasi dirancang untuk langsung digunakan di pusat pengungsian.
Ada jejak gotong royong di dalamnya: donasi karyawan, solidaritas internal, dan dorongan moral dari para pekerja industri dirgantara yang menyadari bahwa kompetensi mereka harus kembali ke rakyat.
“PTDI turut berduka dan prihatin. Bantuan ini merupakan wujud kepedulian kolektif kami terhadap sesama,” kata Dhias. Di balik kalimat itu, ada kesadaran bahwa industri strategis tak selayaknya berdiri jauh dari penderitaan masyarakat.
Dari Bandung ke Aceh, Melintasi Awan dan Jalan yang Patah
Bencana selalu mengingatkan bahwa kecepatan adalah mata uang paling mahal. PTDI mungkin berbasis di Bandung, ratusan kilometer dari titik bencana, tetapi keputusan mereka untuk “menerbangkan” bantuan membuat jarak itu runtuh.
Jalan-jalan mungkin patah, jembatan mungkin hanyut, namun dari langit, satu-satunya jalur yang tersisa masih bisa dimanfaatkan.
Peran PTDI dalam misi darurat ini bukan sekadar pengiriman bantuan, melainkan penegasan: industri dirgantara negeri ini tidak hanya membangun pesawat, tetapi juga menjaga kemanusiaan tetap hidup di tengah bencana.***






