Bandung, BandungOke – Di Aceh, lumpur belum kering. Sungai-sungai kecil yang mendadak berubah menjadi gulungan air pekat masih menyisakan puing, tangis, dan sepi yang panjang.
Banjir bandang yang memerangkap warga di Bireuen, Peusangan, dan sejumlah titik rawan lainnya telah merobek keseharian masyarakat, menyisakan jejak yang tak mudah dipulihkan hanya dengan waktu.
Di tengah kekacauan itu, rombongan kecil dari Bio Farma Group bergerak menembus jalan-jalan yang putus—diam-diam, tapi terukur, seperti mesin kemanusiaan yang tak mengenal lelah.
Tanggal 2 Desember lalu, di sebuah halaman sederhana di Bireuen, Hidayat Setiadji, Kepala Divisi TJSL, HSE, Aset, dan Umum Bio Farma, menyerahkan bantuan logistik ke Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA).
Bukan hanya formalitas penyerahan, melainkan simbol komitmen BUMN farmasi yang memilih turun langsung mengantar kebutuhan dasar bagi para penyintas.
Menyusuri Aceh yang Terbelah, dengan Logistik yang Harus Sampai
Bio Farma dan Kimia Farma datang bukan dengan janji, melainkan dengan beras, mi instan, minyak goreng, selimut, susu dan bubur bayi—barang-barang yang bagi kebanyakan orang mungkin sederhana, tetapi di tenda pengungsian, ia berubah menjadi barang paling berharga.
Akses jalan yang terputus dan keterbatasan BBM membuat distribusi logistik seperti bertaruh dengan waktu. Namun, rombongan TJSL tetap memaksa masuk, menembus jalur alternatif, dibantu komunitas lokal yang mengetahui setiap tikungan jalan yang masih bisa dilalui.
“Situasi di lapangan masih penuh hambatan. Tapi bantuan harus sampai. Cepat, aman, dan tepat sasaran,” ujar Setiadji, pendek namun tegas. Di Aceh, kalimat itu bukan jargon; itu kompas kerja.
Kolaborasi Sunyi: Ketika BUMN, Pemerintah Daerah, dan Warga Berjalan Bersama
Setiadji menyadari betul, satu institusi tak akan pernah mampu membendung beban kemanusiaan sebesar ini. Karena itu, Bio Farma Group memilih bergerak dalam jejaring: BPBA, pemerintah daerah, relawan, dan komunitas warga yang menjadi ujung tombak akses ke wilayah terpencil.
Bantuan yang dibawa tidak hanya meringankan beban fisik, tetapi menegaskan bahwa negara masih hadir, bahkan melalui tangan-tangan teknokrat kesehatan.
Langkah terkoordinasi ini bukan sekadar CSR tahunan; ini adalah manifestasi bahwa Bio Farma, sebagai induk BUMN Farmasi, memikul tanggung jawab lebih besar dari sekadar produksi vaksin dan layanan kesehatan.
Mereka adalah bagian dari sistem ketahanan sosial negeri ini—yang harus datang paling cepat ketika bencana terbesar datang paling tiba-tiba.
Untuk Aceh, yang Sedang Belajar Berdiri Lagi
Banjir bandang akan surut, tapi pemulihan tidak berjalan secepat itu. Aceh membutuhkan waktu, tenaga, dan sirkulasi bantuan yang konsisten.
Bio Farma memilih menetapkan pijakan awalnya di sini, menegaskan bahwa dukungan mereka tidak selesai pada satu kunjungan. Bagi masyarakat di pengungsian, kehadiran ini bukan sekadar distribusi sembako; ini pengingat bahwa mereka tidak dibiarkan sendiri.
Saat sebagian wilayah masih terisolasi oleh lumpur dan jeram hujan, langkah TJSL Bio Farma Group menjadi catatan kecil tentang bagaimana kemanusiaan masih bekerja—pelan, terjal, dan kadang menyayat hati, tapi tetap hadir pada saat paling dibutuhkan.***






