Bandung, BandungOke.com – Suasana di ruang rapat Gedung Rektorat Isola sore itu terasa seperti menahan napasnya sendiri.
Cahaya matahari yang merambat dari jendela memantulkan siluet seorang mahasiswi muda yang duduk menunduk, jemarinya saling menggenggam, berusaha tegar.
Namanya Olivia Yuliana, mahasiswa PJKR Angkatan 2024, anak bungsu dari enam bersaudara, satu-satunya yang pernah mencicip bangku perguruan tinggi.
Hidupnya berubah dalam sekejap.
Banjir bandang dan longsor di kampung halamannya, Jorong Kampung Tangah, Nagari Salareh Aia Timur, Palembayan, Agam, menyapu pergi orang-orang yang dicintainya. Kedua orang tua dan dua kakaknya. Empat jiwa, empat pelita keluarga, hilang tanpa sempat berpamitan.
Dunia Olivia serasa runtuh dalam sunyi yang bahkan tak mampu dijelaskan dengan kata-kata.
Namun, di antara kepedihan itu, selalu ada ruang bagi pertolongan-Nya—datang dari arah yang tak disangka-sangka.
Ketika SK Pembebasan UKT, tempat tinggal, dan beasiswa hidup hingga semester 8 diserahkan langsung oleh Rektor UPI, Prof. Dr. H. Didi Sukyadi, ruang rapat itu menjadi saksi bahwa empati dapat menjadi tangan panjang dari kasih Tuhan. Bahwa manusia, dalam keterbatasannya, bisa menjadi perantara kebaikan.
“Pembebasan UKT, Tempat Tinggal dan Beasiswa Hidup hingga Semester 8 merupakan bentuk empati institusi terhadap beban berat yang dialami Olivia, sekaligus komitmen untuk memastikan keberlanjutan studinya,” ujar Didi, suaranya tenang namun bergetar oleh rasa iba yang dalam. dikutip Jumat (12/12/2025)
UPI memberikan tiga bentuk dukungan yaitu :
— Pembebasan UKT hingga lulus,
— Tempat tinggal di Asrama Putri,
— Biaya hidup Rp750 ribu per bulan hingga semester 8.
Semua dicatat dalam SK Rektor, agar tak ada satu pun unit di UPI yang luput memahami bahwa seorang mahasiswi tengah berjuang bertahan bukan hanya secara akademik, tetapi secara hidup.
“Ini bukan untuk disebar di media sosial,” tegas Didi. “Ini murni penyerahan resmi dan penguatan moral untuk Olivia.” katanya. Di balik kalimat itu tersirat pesan: ini bukan pencitraan; ini adalah kemanusiaan.
Erik, kerabat yang mendampingi Olivia di Bandung, menahan suara seraknya ketika menceritakan hari-hari pertama setelah musibah.
“UPI datang. Mereka hadir,” ucapnya lirih. “Seminggu setelah kejadian, Olivia sudah kembali kuliah. Kami hanya ingin ia bisa menyelesaikan pendidikannya.” ujarnya.
Olivia, bungsu yang kini memikul harapan keluarga besar, duduk diam mendengar setiap kata. Kehilangan telah mengosongkan sebagian ruang jiwanya, tetapi pendidikan—yang dulu menjadi cita-cita sederhana—kini menjadi kompas yang menuntunnya untuk tetap berjalan.
Dan mungkin, di balik langkah kecil yang tampak rapuh itu, ada kekuatan besar yang menopang yakni pertolongan Allah, yang selalu hadir melalui tangan-tangan manusia, melalui perhatian yang datang tepat ketika segalanya hampir tumbang.
UPI sendiri masih mendata mahasiswa lain yang terdampak bencana. “Kami ingin hadir dalam situasi sulit mahasiswa kami,” ujar Didi. “Pendidikan tidak hanya di ruang kelas. Ia hidup melalui tindakan nyata.” tegasnya.
Di Rektorat Isola, SK yang diserahkan hari itu mungkin hanyalah selembar kertas. Tetapi bagi Olivia, itu adalah jembatan.
Jembatan untuk tetap bertahan.
Jembatan untuk terus melangkah.
Jembatan yang meyakinkannya bahwa ketika dunia runtuh, pertolongan tidak pernah benar-benar pergi.
Ia selalu datang—sering kali lewat cara yang lembut, diam-diam, dan sangat manusiawi.***






