Jakarta. BandungOke.com – Pertumbuhan aset industri keuangan syariah kerap dipamerkan sebagai kabar baik.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, total aset industri perasuransian, penjaminan, dan dana pensiun (PPDP) syariah nasional tumbuh 6,21 persen secara year-on-year menjadi Rp70,8 triliun pada Oktober 2025.
Angka itu kerap dibaca sebagai tanda menguatnya ekonomi syariah Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas PPDP OJK Ogi Prastomiyono menyebut pertumbuhan tersebut sejalan dengan meningkatnya partisipasi publik.
Saat ini terdapat 28 perusahaan PPDP syariah full pledge dan 55 unit usaha syariah.
“Hal tersebut menunjukkan pertumbuhan partisipasi masyarakat dalam sektor industri keuangan syariah,” kata Ogi Prastomiyono dikutip Senin (15/12/2025)
Namun, di balik narasi pertumbuhan, data justru membuka ironi. Tingkat literasi dan inklusi keuangan masih tertinggal jauh dari ekspansi aset.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 mencatat literasi asuransi baru 45,45 persen, sementara inklusinya hanya 28,5 persen.
Dana pensiun bahkan lebih memprihatinkan: literasi 27,79 persen, inklusi 5,37 persen. Produk penjaminan tak jauh berbeda, dengan literasi 42,77 persen dan inklusi 14,71 persen.
Angka-angka itu menegaskan satu hal: pertumbuhan industri tidak berjalan beriringan dengan pemahaman publik. OJK pun tak menutup mata atas persoalan tersebut.
“Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat edukasi masyarakat melalui pendekatan yang komunikatif, mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Rendahnya literasi ini berdampak langsung pada pemahaman masyarakat akan pentingnya proteksi dan perencanaan masa depan,” ucap Ogi.
Di titik inilah OJK mengambil langkah yang mengundang perdebatan. Alih-alih memperkuat pendidikan keuangan formal atau memperluas kanal literasi berbasis negara, regulator memilih menggandeng Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Bersama Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) dan Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), OJK meluncurkan buku khutbah bertema syariah muamalah untuk disampaikan di mimbar masjid.
Masjid diposisikan sebagai simpul edukasi ekonomi. Ulama diharapkan menjadi juru penerang literasi keuangan, dari asuransi hingga dana pensiun.
Sebuah pendekatan kultural, namun sekaligus memunculkan pertanyaan mendasar, apakah rendahnya literasi keuangan harus ditambal lewat mimbar keagamaan?
Ogi menaruh harapan besar pada peran ulama dan khutbah Jumat agar masyarakat memahami transaksi sesuai prinsip syariah dan terhindar dari praktik merugikan.
Ia juga menekankan penguatan ekosistem melalui produk zakat dan wakaf serta sinergi antarpelaku industri.
“Dengan sinergi antara pelaku industri PPDP, diharapkan (industri PPDP) dapat memiliki kapasitas yang memadai untuk menyediakan produk yang dapat memitigasi risiko yang lebih besar,” ujar Ogi.
Langkah OJK menggandeng DMI memang kreatif, tetapi juga mencerminkan kegagalan struktural dalam membangun literasi keuangan yang sistematis.
Ketika masjid dijadikan ujung tombak edukasi finansial, pertanyaan kritis pun mengemuka, sampai sejauh mana negara hadir langsung mendidik warganya, dan kapan literasi keuangan menjadi kebijakan publik yang benar-benar terinstitusionalisasibukan sekadar dititipkan di mimbar.***






