Jakarta, BandungOke.com – Hujan belum turun, tapi ancamannya sudah terasa. Langit Jawa Tengah, pada penghujung tahun, berubah menjadi variabel yang tak bisa dikendalikan.
Di situlah kereta api, ikon transportasi massal yang diandalkan jutaan penumpang, diuji ketangguhannya. Menjelang Angkutan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025/2026, cuaca ekstrem bukan sekadar catatan meteorologi, melainkan faktor penentu kelancaran perjalanan.
Minggu, 14 Desember 2025, Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi bersama Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Bobby Rasyidin turun langsung ke Grobogan, Jawa Tengah.
Lokasi yang dipilih bukan sembarang titik. Desa Papanrejo, Kecamatan Gubug, adalah bekas luka lama. Sebuah jalur yang pernah terdampak luapan Sungai Tuntang. Di musim hujan, daerah ini ibarat alarm dini bagi jaringan rel nasional.
Peninjauan difokuskan pada lintas Gubug–Karangjati serta Brumbung–Tegowanu. Jalur-jalur ini masuk daftar pantauan intensif karena curah hujan tinggi kerap menguji stabilitas rel dan jembatan.
Dalam logika operasi kereta api, satu titik rapuh bisa memicu efek domino: keterlambatan, pembatasan kecepatan, bahkan penghentian sementara perjalanan.
“KAI memastikan jalur kereta api di wilayah pantauan khusus berada dalam kondisi siap operasi. Pengawasan dilakukan secara intensif agar perjalanan kereta api tetap aman, tertib, dan tepat waktu,” ujar Bobby Rasyidin dikutip Senin (15/12/2025)
Sebelum ke Grobogan, rombongan lebih dulu singgah di Stasiun Semarang Tawang—simpul penting pergerakan penumpang di Jawa Tengah.
Di stasiun ini, kesiapan layanan diuji bukan hanya oleh lonjakan penumpang, tetapi juga oleh kemampuan sistem merespons gangguan dari luar: cuaca, genangan, dan potensi gangguan prasarana.
Sebagai langkah antisipasi, KAI menyiagakan 2.483 petugas ekstra selama masa Angkutan Nataru. Mereka disebar di berbagai fungsi operasional, dengan mandat utama merespons cepat setiap potensi gangguan, terutama yang dipicu hujan ekstrem.
Di atas kertas, angka ini menunjukkan kesiapsiagaan. Di lapangan, efektivitasnya akan diuji oleh intensitas hujan dan ketahanan infrastruktur.
Upaya pengamanan juga diperluas secara nasional. Sepanjang Januari–November 2025, KAI menutup 305 perlintasan sebidang—langkah pencegahan yang kerap luput dari sorotan publik, namun krusial dalam menekan risiko kecelakaan. Penguatan rel, penambahan batu kricak, hingga stabilisasi struktur jalur dilakukan di lintas-lintas padat, terutama yang rawan terdampak cuaca.
Selama Nataru, lokomotif cadangan, kereta pembangkit, dan peralatan pendukung disiagakan di titik strategis. Posko Terpadu Nataru beroperasi penuh, memantau perjalanan kereta secara real time. Semua ini disiapkan untuk satu tujuan: memastikan rel tetap berfungsi meski langit tak bersahabat.
“Kami memastikan seluruh kesiapan dilakukan agar masyarakat dapat bepergian dengan aman dan nyaman menggunakan kereta api pada masa Natal dan Tahun Baru,” kata Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi.
Namun, pada akhirnya, cuaca tetap menjadi variabel liar. Hujan ekstrem bisa datang tanpa aba-aba, menguji setiap baut, bantalan rel, dan sistem pengawasan. Angkutan Nataru bukan hanya soal jumlah petugas atau panjang rel yang diawasi, melainkan tentang seberapa cepat sistem bereaksi ketika alam mengambil alih kendali.
Di Jawa Tengah, rel dan langit kini saling berhadapan. Nataru akan menjadi panggung pembuktian: apakah kesiapan yang dipamerkan cukup kuat menghadapi cuaca yang kian tak tertebak.***






