Bandung, BandungOke.com — Parkir liar dan tarif parkir tak wajar kembali menjadi wajah buram ketertiban Kota Bandung.
Persoalan klasik ini terus berulang, seolah kebal terhadap penertiban. Di kawasan wisata dan ruang publik strategis, warga dipaksa membayar tarif semaunya juru parkir ilegal, sementara aparat datang belakangan sering kali setelah keluhan ramai di media sosial.
Pemerintah Kota Bandung akhirnya angkat suara. Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menginstruksikan seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) untuk turun lebih dini dan proaktif menangani parkir liar, tarif parkir tak wajar, serta aktivitas pedagang kaki lima yang tak tertata.
Arahan itu disampaikan dalam apel pagi ASN Pemkot Bandung, Senin, 15 Desember 2025, melalui Plt Asisten Administrasi Umum/Kepala BKAD Kota Bandung, Agus Slamet Firdaus.
Namun publik telanjur skeptis. Sebab instruksi serupa kerap berhenti di meja rapat. Di lapangan, praktik parkir liar tetap tumbuh subur—dari pusat kota hingga destinasi wisata.
Tarif melonjak tanpa dasar hukum, karcis tak jelas, dan pengawasan nyaris absen. Yang dirugikan bukan hanya warga, tetapi juga citra kota dan sektor pariwisata.
Wali Kota menegaskan masalah ini bukan sekadar pelanggaran teknis. Ia menyentuh inti persoalan: rasa keadilan warga.
“Negara harus hadir sebelum keluhan menjadi viral. Bukan setelah persoalan itu mencuat di ruang publik,” tegas Farhan.
Pernyataan itu sekaligus menjadi pengakuan bahwa negara—dalam banyak kasus—datang terlambat.
Farhan menginstruksikan Satpol PP, Dinas Perhubungan, Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga, serta Dinas Koperasi dan UKM untuk bergerak cepat, terkoordinasi, dan konsisten.
Penertiban diminta adil tanpa pandang bulu, namun tetap mengedepankan pendekatan humanis. Masalahnya, pendekatan “humanis” kerap dijadikan alasan kompromi, hingga ketegasan menguap di tengah jalan.
Instruksi ini menegaskan satu hal: kehadiran pemerintah di lapangan adalah ukuran pelayanan publik yang nyata, bukan sekadar jargon. Tanpa pengawasan berkelanjutan dan sanksi tegas, parkir liar akan terus menjadi ladang rente, dan tarif tak wajar akan terus memalak warga.
Bandung butuh tindakan, bukan janji. Jika negara kembali terlambat hadir, maka publik berhak bertanya: untuk siapa ketertiban kota ditegakkan?***
Editor : Deny Surya






