Bandung, BandungOke.com – Media sosial tak pernah tidur. Ia menelan jutaan kata setiap detik. Sebagian jujur, sebagian riuh, sebagian lagi berubah menjadi pisau.
Ujaran kebencian tak selalu berteriak. Ia sering menyamar sebagai candaan, kritik, atau sekadar konten iseng yang tak pernah dipikirkan ujungnya.
Di Bandung, kegelisahan itu dibicarakan tanpa pengeras suara, tanpa podium tinggi. Sekitar 300 mahasiswa dan mahasiswi dari Unpad, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan Unikom duduk bersama dalam agenda Ngobrol Bareng Legislator bertajuk “Anti Ujaran Kebencian” di Hotel Horison Ultima Bandung. Selasa (16/12/2025)
Mereka mendengar, bertanya, dan barangkali mulai curiga pada jempol sendiri.
Nurul Arifin, anggota komisi I DPR RI membuka percakapan dengan satu pengakuan yang tak nyaman. Dunia digital telah membuat manusia terlalu berani tanpa bertanggung jawab.
“Situasi dunia kita sekarang dikelilingi oleh dunia digital yang tanpa batas. Orang bisa ngomong seenaknya, upload seenaknya, bikin konten seenaknya, dan share sesuatu seenaknya. Padahal, semua itu bisa berujung pada satu konsekuensi, melanggar undang-undang atau privasi orang lain,” kata Nurul Arifin.
Kampus, yang selama ini dibayangkan sebagai ruang aman berpikir, ternyata tak sepenuhnya steril dari luka digital.
Antik Bintari, dosen FISIP Universitas Padjadjaran, menyampaikan fakta yang membuat ruangan sejenak hening.
“Memang bullying itu bukan hanya terjadi di kalangan umum. Di kalangan mahasiswa, angkanya justru sangat tinggi,” kata Antik.
Bullying di kampus tak selalu berupa dorongan fisik. Ia hadir lewat screenshot, story, komentar sinis, dan unggahan yang viral—tanpa pernah memberi ruang klarifikasi. Dunia digital, kata Antik, telah mengaburkan batas antara kritik dan kekerasan psikologis.
Sebagai legislator, Nurul Arifin menegaskan bahwa negara tak tinggal diam dengan kondisi seperti ini. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) lahir bukan untuk membungkam, melainkan memberi rambu.
“Kita sudah membuat perundang-undangan untuk memberikan efek jera, baik pidana maupun administratif seperti denda. Tapi undang-undang saja tidak cukup kalau kesadaran digitalnya tidak ada,” ujar politisi Golkar dari Dapil I Bandung-Cimahi ini.
Masalahnya, ujaran kebencian kerap lahir bukan dari niat jahat, melainkan dari ketidaktahuan. Jempol bergerak lebih cepat dari pikiran. Validasi likes mengalahkan empati. Dan ketika dampak datang, penyesalan sering terlambat.
Obrolan bersama legislator sore itu tak menawarkan solusi instan. Tak ada jurus pamungkas. Yang ada hanyalah ajakan sederhana untuk berhenti sejenak sebelum menekan tombol unggah.
“Intinya harus sadar literasi digital. Kita harus tahu batas mana yang boleh dan mana yang tidak,” kata Nurul Arifin.
Di akhir diskusi, para mahasiswa pulang membawa satu kesadaran baru, di dunia tanpa batas, justru batas diri yang paling penting dijaga. Sebab di media sosial, satu kalimat bisa menjadi jembatan atau jurang.***






