Bandung, BandungOke – Di tengah perubahan lanskap pendidikan tinggi yang kian cepat mulai dari digitalisasi, tuntutan relevansi industri, hingga kompetisi global, Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jawa Barat menghadapi tantangan berlapis.
Bukan hanya soal bertahan, tetapi bagaimana tetap bermakna. Di titik inilah APTISI Jawa Barat mencoba memainkan peran strategisnya.
Musyawarah Wilayah (Muswil) APTISI Jawa Barat 2025 yang digelar di Grand Pasundan Convention Hotel, Kota Bandung, Kamis (18/12), menjadi lebih dari sekadar agenda organisasi.
Forum ini menjelma ruang konsolidasi arah, bagaimana PTS di Jawa Barat bisa maju, profesional, dan relevan dengan kebutuhan zaman, tanpa terus berada di bayang-bayang perguruan tinggi negeri.
Mengusung tema “Melangkah, Maju, dan Sukses Bersama APTISI Jawa Barat Wujudkan PTS Unggul dan Berdampak”, Muswil ini menegaskan satu pesan penting yakni transformasi PTS tak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri.
Kolaborasi dengan pemerintah, pembuat kebijakan, dan dunia industri menjadi keniscayaan.
Utusan Khusus Presiden RI, Fadel Muhammad Al Haddar, menyoroti pentingnya infrastruktur digital sebagai prasyarat peningkatan kualitas PTS.
Sementara Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, mengingatkan bahwa kebijakan pendidikan harus mampu menghapus dikotomi lama antara PTN dan PTS—dikotomi yang selama ini kerap membuat PTS berjalan dengan sumber daya terbatas namun tuntutan setara.
Isu regulasi juga tak luput dari perhatian. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, Bimo Wijayanto, membahas kerangka perpajakan bagi yayasan pendidikan dan lembaga nirlaba—sebuah aspek yang kerap dianggap teknis, tetapi menentukan ruang gerak keberlanjutan PTS.
Di sisi lain, Ketua Majelis Akreditasi BAN-PT, Imam Buchori, memaparkan arah kebijakan akreditasi pasca Permendikbudristek Nomor 39 Tahun 2025, yang menuntut PTS lebih adaptif dan berbasis mutu nyata, bukan administratif.
Ketua Umum APTISI, Prof. Budi Jatmiko, menegaskan bahwa perubahan ekosistem pendidikan tinggi harus dijawab dengan kepemimpinan yang progresif.
“APTISI Jawa Barat membutuhkan pimpinan definitif yang mampu mendorong perguruan tinggi beradaptasi dan bertransformasi melalui digitalisasi,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya kolaborasi teknologi berbiaya efisien agar PTS tidak tertinggal dalam arus perubahan kebijakan nasional.
Sementara itu, Ketua APTISI Jawa Barat, Prof. Eddy Soeryanto Soegoto

, menekankan bahwa APTISI bukan sekadar organisasi payung, melainkan ruang belajar bersama bagi PTS.
Dari sekitar 20 PTS unggul di Jawa Barat, tujuh di antaranya diminta berbagi praktik baik—mulai dari tata kelola, kepemimpinan, hingga strategi meraih akreditasi unggul.
“Kalau pimpinan cepat merespons dan yayasan mendukung, perubahan bisa dipercepat. Jika tidak, justru jadi hambatan,” katanya.
Pesan itu terasa relevan. Banyak PTS sesungguhnya tidak kekurangan ide, tetapi terhambat pada tata kelola yang stagnan dan resistensi internal.
Di sinilah APTISI diuji, mampukah organisasi ini menjadi motor profesionalisme, bukan sekadar forum seremonial?
Melalui Muswil 2025, APTISI Jawa Barat mencoba menegaskan posisinya sebagai organisasi yang mendorong PTS bukan hanya naik peringkat, tetapi naik kelas—lebih adaptif, lebih profesional, dan lebih selaras dengan kebutuhan zaman.
Tantangannya kini bukan pada visi, melainkan konsistensi mengawal transformasi itu di tingkat kampus.***






