Bandung, BandungOke – Video asusila sepasang remaja di Teras Cihampelas menyebar cepat.
Yang lambat justru respons struktural negara kota. Ruang publik yang dibangun dengan uang rakyat itu kembali tercoreng—bukan hanya oleh perilaku menyimpang, tetapi oleh pengawasan yang rapuh.
Insiden tersebut memperlihatkan adegan tak pantas di area terbuka. Warga menegur, kamera merekam, pelaku kabur. Aparat? Datang setelah viral. Pola lama yang berulang.
Kepala Satpol PP Kota Bandung, Bambang Sukardi, memastikan pihaknya akan menindaklanjuti kejadian itu jika pelaku berhasil diamankan.
“Benar, kita akan tindak lanjuti. Kalau sudah diamankan, akan kita tindak dan diberikan pembinaan agar ada efek jera dan tidak melakukan hal yang sama,” ujar Bambang, Rabu, 17 Desember 2025.
Namun pernyataan itu justru membuka pertanyaan lebih besar, bagaimana mungkin kawasan sekelas Teras Cihampelas bisa kecolongan? Jawabannya muncul dari pengakuan aparat sendiri.
Menurut Bambang, Teras Cihampelas memiliki sembilan titik akses masuk. Tidak satu pun dijaga permanen. Pengawasan dilakukan secara mobile—strategi yang diakui membuka celah permainan kucing-kucingan.
“Pada prinsipnya kita sudah floating petugas, tidak tiap pintu dijaga karena mobile. Pengunjung juga yang datang ke sana ada tujuannya tidak baik dan kucing-kucingan,” katanya.
Pernyataan itu adalah alarm keras. Aparat tahu motif menyimpang, tahu titik rawan, tahu akses terbuka—namun pencegahan tetap longgar. Di sinilah Pemkot Bandung tampak kecolongan. Bukan sekali, melainkan berulang.
Bambang juga mengakui kejadian serupa bukan hal baru. Artinya, masalah di Teras Cihampelas bersifat sistemik. Bukan sekadar pelanggaran moral individu, melainkan kegagalan desain pengawasan ruang publik.
“Mudah-mudahan tidak ada kejadian terulang dan ini jadi bahan evaluasi kami untuk meningkatkan pengawasan,” ucap Bambang.
Sebagai respons, Satpol PP memberlakukan penutupan pintu masuk Teras Cihampelas mulai pukul 22.00 WIB dan menjanjikan peningkatan inspeksi mendadak.
“Banyak modus orang ke sana bukan hanya cari pemandangan, tapi ada yang berniat tidak bagus. Ke depan, kita akan meningkatkan inspeksi mendadak (sidak),” pungkasnya.
Namun publik berhak bertanya: mengapa langkah tegas baru muncul setelah kamera warga bekerja? Mengapa ruang publik dibiarkan reaktif, bukan preventif?
Kasus ini menelanjangi persoalan klasik tata kelola kota: infrastruktur dibangun, pengawasan tertinggal. Teras Cihampelas akhirnya bukan hanya panggung wisata, tetapi juga etalase kegagalan kontrol ruang publik.
Jika tak ada pembenahan serius—penjagaan statis, pembatasan akses nyata, CCTV aktif, dan kehadiran aparat yang konsisten—maka kejadian serupa hanya tinggal menunggu waktu. Viral berikutnya tinggal soal giliran.***






