Bandung, BandungOke – Solidaritas sosial kembali digaungkan Pemerintah Kota Bandung dalam peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) 2025.
Pesannya terdengar luhur. Namun angka-angka yang dipaparkan pemerintah sendiri justru mengungkap jarak lebar antara retorika dan realitas.
Sekretaris Daerah Kota Bandung Iskandar Zulkarnain menegaskan bahwa pembangunan tak boleh hanya berorientasi pada infrastruktur.
“Pembangunan tidak boleh hanya bicara angka dan infrastruktur, tetapi juga harus menyentuh sisi kemanusiaan,” katanya. Pernyataan ini tepat—dan sekaligus menjadi kritik tak langsung terhadap arah pembangunan selama ini.
Fakta bahwa hampir seperempat penduduk Bandung berada di kelompok desil 1 hingga 5 menunjukkan persoalan struktural yang belum terurai.
Kota kreatif dengan gedung dan proyek prestisius, tetapi menyisakan kantong-kantong kerentanan yang terus melebar.
Upaya Dinas Sosial memverifikasi ulang data penerima bansos patut diapresiasi. Sebanyak 506 petugas diturunkan, dan hasilnya mengungkap masalah klasik: data bantuan sosial cepat kedaluwarsa, sementara kebijakan sering terlambat menyesuaikan.
Dalam celah inilah ketidakadilan bekerja—yang berhak tak selalu menerima, yang tak lagi berhak justru bertahan.
Janji menggeser bantuan sosial ke arah pemberdayaan ekonomi kembali diulang. Kepala Dinas Sosial Yorisa Sativa menyebut bansos harus mendorong kemandirian.
Pernyataan ini kerap terdengar setiap tahun, tetapi realisasinya jarang terukur secara transparan.
Bandung juga hidup di bawah bayang-bayang risiko bencana. Ratusan kejadian sepanjang 2025 menegaskan bahwa solidaritas bukan sekadar nilai moral, melainkan kebutuhan kebijakan.
Kampung Siaga Bencana penting, tetapi tanpa dukungan anggaran dan perencanaan jangka panjang, ia mudah berubah menjadi program seremonial.
Apresiasi terhadap LKS dan PSKS menunjukkan peran besar masyarakat sipil. Namun ketika negara terlalu sering berterima kasih, pertanyaan kritis muncul: apakah negara hadir sebagai penanggung jawab utama, atau sekadar koordinator simbolik?
HKSN semestinya menjadi cermin, bukan panggung. Solidaritas sosial tak cukup dirayakan. Ia harus diinstitusionalisasi—dalam kebijakan yang konsisten, data yang jujur, dan keberpihakan yang nyata pada kelompok paling rentan.***






