Bandung, BandungOke — Setiap musim libur Natal dan Tahun Baru (Nataru), kemacetan di akses menuju stasiun kembali menjadi ritual tahunan yang nyaris tak pernah berubah.
Di Bandung, persoalan itu kembali mengemuka pada Nataru 2025/2026. PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 2 Bandung pun kembali mengimbau pelanggan agar datang lebih awal ke stasiun.
Sebuah imbauan rutin yang, ironisnya, sekaligus menegaskan kegagalan sistemik penanganan kemacetan di simpul transportasi publik.
Kemacetan di sekitar stasiun bukan semata persoalan perilaku pengguna jalan. Ia adalah potret masalah struktural kota mulai dari keterbatasan akses, minimnya integrasi moda, serta ketergantungan tinggi pada kendaraan pribadi dan layanan antar-jemput berbasis jalan raya.
Setiap Nataru, lonjakan mobilitas memperlihatkan betapa rapuhnya manajemen lalu lintas di kawasan vital transportasi.
Manager Humas KAI Daop 2 Bandung, Kuswardojo, menyebut tingginya mobilitas masyarakat pada libur akhir tahun berpotensi memicu kepadatan lalu lintas di sejumlah ruas jalan menuju stasiun, khususnya di Kota Bandung dan sekitarnya.
“Kami mengimbau kepada para pelanggan agar dapat mengatur waktu perjalanan dengan sebaik-baiknya dan datang lebih awal ke stasiun. Jangan sampai tertinggal kereta akibat keterlambatan yang disebabkan oleh kemacetan di jalan, terutama pada puncak arus libur Nataru,” ujarnya.
Namun, imbauan untuk “datang lebih awal” sejatinya memindahkan beban masalah kepada penumpang. Publik diminta berangkat lebih pagi, menambah waktu tunggu, bahkan mengorbankan kenyamanan, demi mengantisipasi sistem lalu lintas yang tak kunjung beres.
Padahal, kemacetan di sekitar stasiun adalah persoalan berulang yang seharusnya ditangani melalui kebijakan lintas sektor, bukan sekadar pesan kehati-hatian.
Data KAI Daop 2 Bandung menunjukkan tingginya tekanan mobilitas. Hingga Senin, 22 Desember 2025, tercatat 206.711 pelanggan telah mengantongi tiket kereta api dari wilayah Daop 2 Bandung.
Angka ini setara dengan okupansi 71,9 persen dari total tiket Angkutan Nataru 2025/2026. Lonjakan penumpang tersebut seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan pengelola transportasi untuk memperkuat manajemen kawasan stasiun.
KAI mengimbau pelanggan tiba minimal 60 menit sebelum keberangkatan, baik untuk kereta jarak jauh maupun lokal, serta memanfaatkan check-in online melalui aplikasi Access by KAI.
Langkah ini memang membantu mempercepat proses di dalam stasiun, tetapi tidak menyentuh akar masalah di luar pagar stasiun: kemacetan jalan, titik putar kendaraan, parkir liar, hingga tumpukan kendaraan daring yang menunggu penumpang.
Selama pendekatan penanganan masih bersifat reaktif dan musiman dengan datang lebih awal saat Nataru, kembali normal setelah libur, kemacetan akan terus berulang.
Tanpa integrasi angkutan pengumpan, rekayasa lalu lintas permanen, serta penataan kawasan stasiun sebagai simpul transportasi modern, stasiun akan tetap menjadi titik padat yang menekan kenyamanan publik.
Nataru kembali datang. Kereta tetap menjadi pilihan utama masyarakat. Tapi kemacetan di sekitar stasiun, sekali lagi, menjadi pengingat bahwa transportasi publik tak cukup hanya tepat waktu di rel—ia juga harus mudah, lancar, dan manusiawi di jalan menuju peron.***






