Bandung, BandungOke — Menjadi ibu kerap digambarkan sebagai peran yang penuh cinta dan pengorbanan.
Namun di balik itu, ada kisah-kisah sunyi tentang perempuan yang setiap hari belajar menyeimbangkan hati, waktu, dan mimpi.
Refleksi itu terasa kuat dalam talkshow “Ibu Tangguh, Negeri Tumbuh: Merayakan Perempuan yang Tidak Pernah Menyerah” yang digelar Jurnalis Lifestyle & Bisnis (JLB) di Artotel Suites Aquila Bandung, Senin (22/12/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Ibu.
Di ruang itu, para perempuan berbagi cerita bukan sebagai sosok yang selalu kuat, melainkan manusia yang terus berusaha. Ibu hadir sebagai pengasuh, pencari nafkah, profesional, sekaligus penjaga nilai dalam keluarga—peran yang sering dijalani bersamaan, tanpa jeda.
Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Karsa Mandiri (PKKM) Kabupaten Bandung, Dewi Ayu Wulansari, menggambarkan keseharian yang akrab bagi banyak ibu pelaku UMKM.
Hari-harinya dimulai sejak pagi, mengantar anak ke sekolah, lalu berlanjut hingga malam dengan aktivitas produksi makanan fermentasi dari rumah.
“Pagi mengurus anak sekolah, siang hingga malam produksi di rumah. Keluarga tetap prioritas utama, tapi usaha juga harus jalan,” ujar Dewi lirih namun mantap.
PKKM yang telah berdiri selama delapan tahun kini membina sekitar 700 pelaku UMKM, mayoritas perempuan. Di balik semangat berwirausaha, Dewi mengakui masih banyak tantangan yang dihadapi para ibu, mulai dari adaptasi digital hingga persoalan logistik, terutama untuk produk pangan yang sensitif.
“Penjualan online membuka pasar lebih luas, tapi logistik sangat krusial. Produk seperti kimchi atau makanan fermentasi butuh perlakuan khusus agar sampai ke konsumen dengan aman,” katanya.
Cerita lain datang dari dunia profesional. Head of Marketing Communication Department PT Eigerindo MPI berbagi pengalaman menjadi ibu yang tetap aktif berkarier.
Ia menolak anggapan bahwa peran ibu harus membatasi ruang gerak perempuan. Baginya, justru kebersamaan sederhana di alam menjadi ruang tumbuh bersama anak.
“Camping, hiking, naik gunung jadi cara kami membangun kedekatan. Di alam, komunikasi lebih terbuka dan intim,” ujarnya.
Namun, kehangatan kisah-kisah ini bersisian dengan realitas yang lebih getir. Aktivis Sapa Institut, Sri Mulyati, mengingatkan bahwa banyak perempuan—termasuk para ibu—masih hidup dalam bayang-bayang rasa tidak aman, terutama di ruang publik perkotaan.
“Satu dari dua pengguna transportasi publik pernah melihat atau mengalami kekerasan seksual. Perempuan tiga kali lebih rentan menjadi korban,” kata Sri, merujuk data di Jawa Barat.
Ia juga menyoroti kebijakan digitalisasi layanan publik yang belum sepenuhnya inklusif. Bagi perempuan lansia dan ibu rumah tangga, teknologi yang tidak ramah justru bisa menjadi tembok baru yang menjauhkan mereka dari akses bantuan dan informasi.
Nada reflektif semakin terasa saat akademisi dan pakar komunikasi Dr. Husnita berbicara dari pengalaman personalnya. Ia mengajak publik melihat kembali makna “perempuan tangguh” yang kerap dipuji, tetapi jarang benar-benar didukung oleh sistem.
“Jika perempuan dianggap tangguh, seharusnya tidak ada lagi pembatasan karier hanya karena status sebagai ibu atau istri. Kebijakan negara harus memberi ruang yang setara,” ujarnya.
Dengan jujur, ia juga mengungkap penyesalan kehilangan fase emas pertumbuhan anak akibat tuntutan pekerjaan. Baginya, Hari Ibu seharusnya menjadi ruang empati, bukan sekadar perayaan simbolik.
“Hari Ibu bukan hanya soal pujian ‘tidak pernah menyerah’. Pujian juga bisa menjadi beban jika sistemnya tetap tidak adil,” katanya.
Ia pun mengingatkan peran media agar lebih berempati dalam membingkai kisah perempuan.
“Bangun narasi yang jujur dan adil. Jangan clickbait emosional yang justru menambah beban perempuan,” tegasnya.
Ketua Jurnalis Lifestyle dan Bisnis (JLB), Dini Budiman, menegaskan bahwa komitmen pada isu perempuan dan ibu tidak berhenti pada satu peringatan tahunan.
“Media tidak hanya melaporkan peristiwa, tetapi membangun makna. Ketika media menguatkan perempuan dan ibu, harapan bagi masa depan negeri ikut ditumbuhkan,” ujarnya.
Di Hari Ibu ini, kisah-kisah tersebut mengingatkan kita bahwa ketangguhan ibu bukan tentang selalu kuat tanpa lelah. Ia tentang keberanian untuk terus memilih—mencintai keluarga, merawat diri, bekerja, dan bermimpi—di tengah sistem yang belum sepenuhnya berpihak.
Dan mungkin, di sanalah makna terdalam dari seorang ibu: hadir, bertahan, dan tetap manusiawi.***






