Bandung, bandungoke – Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Bandung tengah menghadapi sorotan tajam terkait dugaan eksklusivitas dalam proses seleksi produk UMKM. Kesan bahwa hanya “orang dalam” yang dapat tampil dalam etalase Dekranasda kian menguat, ditambah minimnya rotasi produk dan absennya kurator profesional yang kredibel.
Sejumlah pelaku usaha lokal mengeluhkan sistem seleksi yang dinilai tertutup dan tidak memberikan ruang setara bagi pelaku UMKM baru. Mereka menyebut produk yang ditampilkan di galeri dan ajang pameran Dekranasda cenderung didominasi oleh kelompok yang itu-itu saja setiap tahunnya.
“Kita enggak mau lagi ada kesan bahwa yang tampil di Dekranasda itu-itu saja. Kita harus buka jalan yang resmi dan transparan,” tegas Ketua Dekranasda Kota Bandung, Aryatri Muhammad Farhan, di sela rapat koordinasi, Selasa (10/6).
Pernyataan Aryatri mencerminkan upaya pembenahan di internal lembaga yang selama ini dianggap tertutup. Namun, pengamat UMKM dan aktivis kerajinan menilai, problem utama bukan hanya soal transparansi, melainkan juga soal sistem kurasi yang lemah.
“Hingga kini, banyak daerah belum memiliki kurator independen yang bisa menilai kualitas produk secara objektif. Akhirnya seleksi seringkali berbasis relasi, bukan kompetensi,” kata Diah Puspita, pegiat UMKM Jawa Barat.
Minimnya rotasi produk memperkuat kesan adanya monopoli informal oleh kelompok tertentu. Di beberapa kesempatan, pelaku usaha mengaku telah mencoba mendaftar namun tidak pernah mendapatkan kejelasan soal hasil kurasi ataupun kriteria penilaian.
Menanggapi hal itu, Aryatri menegaskan bahwa pihaknya tengah mendorong perubahan sistem seleksi agar lebih terbuka dan akuntabel. “Kita ingin semua pelaku UMKM punya kesempatan yang sama. Tidak boleh ada kesan bahwa Dekranasda hanya untuk kalangan tertentu,” ujarnya.
Seiring dengan tekanan publik dan desakan dari pelaku UMKM, Dekranasda Kota Bandung dipaksa bergerak cepat. Tanpa reformasi menyeluruh, lembaga yang semestinya menjadi motor penggerak ekonomi kreatif daerah ini berisiko kehilangan kepercayaan publik.***