Jakarta, BandungOke.com – Pemerintah pusat tengah berpacu dengan waktu untuk menjalankan program-program pemerintahan Prabowo Subianto yang baru berjalan setahun.
Namun di tengah proses tersebut, Mahkamah Konstitusi justru mengeluarkan putusan yang berpotensi mengacaukan irama sinergi antara pusat dan daerah.
Putusan MK Nomor 22/PUU-XXII/2024 yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan daerah dengan jeda minimal dua tahun dinilai Wakil Ketua DPR RI sekaligus Waketum Partai Golkar, Adies Kadir, sebagai langkah mundur dalam sistem pemerintahan Indonesia yang berbasis negara kesatuan.
“Kalau sekarang saja program Presiden belum merata ke seluruh daerah, bagaimana kalau pemilu terpisah sampai dua tahun setengah? Kapan program itu bisa jalan maksimal?” ujar Adies dikutip Rabu (2/7/2025)
Adies menuding, keputusan MK bukan hanya berpotensi memperlambat pembangunan daerah, tetapi juga melemahkan eksekusi kebijakan pusat.
Ia menyangsikan efektivitas pelaksanaan program presiden yang ditargetkan rampung dalam lima tahun apabila kepala daerah hasil pemilu datang terlambat.
“Apakah bisa dijalankan secara utuh jika kepala daerah terpilih baru datang dua tahun setelah presiden dilantik?” katanya.
Lebih jauh, Adies mempertanyakan legitimasi normatif MK dalam mengambil keputusan tersebut. Ia menyebut banyak pihak meragukan kewenangan MK dalam menormakan jeda waktu pelaksanaan pemilu, yang disebutnya telah melampaui batas konstitusional.
“Putusan MK itu katanya final dan mengikat, tapi kenapa sering berubah? Apakah karena ketua MK-nya ganti, lalu substansi putusannya juga ikut berubah?” sindirnya tajam.
Fraksi Golkar, lanjut Adies, kini tengah mengkaji implikasi hukum, politik, dan administrasi dari putusan tersebut.
Ia menyebut, evaluasi bukan hanya soal kepentingan partai, tapi menyangkut kesinambungan pemerintahan nasional secara menyeluruh.***






