Bandung, BandungOke – Di atas kertas, Indonesia bercita-cita mencetak generasi emas 2045. Tapi realitas di lapangan menunjukkan peta jalan pendidikan yang timpang.
Negara tampak berpihak hanya pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN), sementara Perguruan Tinggi Swasta (PTS), yang notabene menjadi penopang besar sistem pendidikan nasional dipaksa berjalan sendiri tanpa peta, apalagi pelindung.
“Transformasi pendidikan tinggi menuju Indonesia emas itu paradoks!” kata Dr. R. Ricky Agusiady, Ketua ABPPTSI Jabar dikutip Rabu (9/7/2025)
Menurutnya, kebijakan negara terkesan diskriminatif terhadap PTS. Dari sisi regulasi, tegasnya, PTS dipaksa tunduk pada aturan negara. Tapi dari sisi pendanaan, mereka dibiarkan bertarung sendiri di medan kompetisi yang makin brutal.
“Berapa porsi dana dari negara yang benar-benar diterima PTS? Hampir nihil. Semua serba mandiri, tapi diwajibkan patuh total,” tegasnya.
PTS Diperas, PTN Dimanja
Kritik Ricky semakin nyaring ketika menyinggung keberadaan PTN Badan Hukum (PTN BH). Dalam narasi otonomi kampus, PTN BH menjelma menjadi mesin industrialisasi pendidikan.
“Berlomba membuka jalur masuk tanpa batas, menetapkan biaya kuliah tinggi, semuanya demi income generation. Ini kompetisi tidak sehat dan tak boleh dibiarkan!” katanya.
Jalur masuk ke PTN kini tak lagi sesederhana SNBP dan SNBT. “Ada jalur prestasi, OSIS, talenta, hingga jalur mandiri yang biayanya bisa dua kali lipat dari PTS. Tapi masyarakat tetap memburu PTN karena dianggap bergengsi,” ungkapnya.
Padahal, kata Ricy, justru jalur mandiri inilah yang menggoyang eksistensi PTS. Akibatnya, PTS kehilangan kuota calon mahasiswa, tanpa bisa melawan.
Iklan PTN menjanjikan mutu, negara menjamin fasilitas. PTS? Harus memulai dari nol. Menyediakan tanah, gedung, SDM semua itu berasal dari saku sendiri. Ironisnya, mereka juga diwajibkan memisahkan aset untuk kepentingan pendidikan.
“Sementara PTN disuplai negara dari A sampai Z. Dari gaji dosen hingga pengembangan karier. Ini bukan sekadar ketimpangan. Ini ketidakadilan sistemik!” tegas Ricky.
Pemerintah Tanpa Cetak Biru
Ricky menilai negara belum memiliki cetak biru pendidikan tinggi yang adil dan inklusif. Tanpa visi menyeluruh, arah pembangunan SDM nasional menjadi tambal sulam. Satu sisi membesarkan PTN, sisi lain membiarkan PTS merana.
“Dalam ASTA CITA Presiden Prabowo, PTS punya peran strategis, khususnya untuk SDM unggul dan transformasi pelayanan publik. Tapi di level kebijakan, keberpihakan itu tidak pernah tampak nyata,” kata Ricky.
Ia menyebutkan bahwa 400 dari 4.000 PTS nasional ada di Jawa Barat, provinsi dengan angka pengangguran tertinggi di Indonesia. Haruskah fakta ini dibiarkan?
Akreditasi juga menjadi beban tambahan. Dulu, cukup melalui BAN-PT. Kini harus lewat Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang biayanya mahal. “Negara mewajibkan akreditasi tapi tidak membiayai. Ini logika kebijakan yang cacat,” katanya.
PTS, Pilar Tersembunyi Pendidikan Bangsa
Realitas ini, katanya menjadi “penyakit” yang terus dipelihara, negara terlalu memanjakan PTN, dan tak pernah benar-benar menaruh kepercayaan pada PTS.
Padahal, tegasnya, dalam banyak aspek, PTS lebih adaptif, lebih dekat dengan realitas sosial, dan lebih cepat menyesuaikan diri terhadap kebutuhan lokal.
“Kalau Indonesia ingin maju, maka kebijakan pendidikan tinggi tak boleh lagi diskriminatif. PTS harus dipandang sebagai mitra strategis pembangunan bangsa, bukan sekadar pelengkap penderita,” tegas Ricky.
Tanpa koreksi sistemik, imbuh Ricky, paradoks ini akan terus berlangsung. Negara membesarkan satu sisi, dan membiarkan sisi lain runtuh perlahan. “Maka jangan heran, jika generasi emas yang dijanjikan hanya akan tinggal wacana dan bonus demografi menjadi bencana baru di Indonesia.” pungkasnya.***






