Jakarta. BandungOke.com — Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian awal pekan ini seolah menjadi tamparan halus—tapi telak—bagi Provinsi Jawa Barat.
Provinsi terpadat di Indonesia itu tak lagi bertengger di puncak kinerja pengelolaan keuangan daerah. Posisi puncak tahun ini direbut oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara Jawa Barat, harus rela turun ke peringkat tiga.
“Yang terbaik sekarang itu Yogyakarta,” ujar Tito dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Dikutip dari YouTube resmi Kemendagri, Kamis (10/7/2025).
Tito tak hanya menyampaikan angka, tapi juga pesan tajam. Yogyakarta disebutnya sebagai contoh ideal pendapatan tinggi, belanja juga tinggi, tetapi tetap menyisakan ruang cadangan.
Angka capaian Yogyakarta tak main-main, pendapatan 57 persen dari target dan realisasi belanja 41 persen. Ringkas, efektif, dan berdampak langsung pada masyarakat.
“Pendapatannya tinggi, sesuai target. Belanjanya uang beredar di masyarakat. UMKM-nya pasti hidup,” kata Tito, yang menyiratkan sindiran terselubung bagi provinsi lain yang masih berpuas diri.
Kejutan lainnya datang dari timur Indonesia yakni NTB. Di bawah kepemimpinan Gubernur Lalu Iqbal, provinsi ini justru meroket di tengah tantangan pasca tambang Newmont.
Pendapatan 46 persen dan belanja 39 persen menjadi bukti bahwa manajemen fiskal bisa rapi asal kemauan dan kepemimpinan ada.
“BKAD-nya bagus, Dispenda-nya juga. Eksekusinya rapi,” ujar Tito memuji.
Lalu, bagaimana dengan Jawa Barat?
Tak bisa dimungkiri, meskipun Tito menyebut kinerja Jabar “masih bagus”, posisi tiga bukanlah kebanggaan bagi provinsi yang sebelumnya digadang-gadang sebagai primadona pengelolaan anggaran.
Tito bahkan menyebut langsung Gubernur Dedi Mulyadi dalam komentarnya: “Jawa Barat dari kemarin nomor satu, sekarang nomor tiga. Tapi masih bagus, Kang Dedi ini.”
Pujian itu terdengar lebih sebagai penghiburan daripada penghargaan. Karena faktanya, penurunan peringkat ini harus dibaca sebagai sinyal peringatan. Ada yang tidak beres. Apakah karena lemahnya eksekusi belanja daerah? Apakah birokrasi terlalu lambat menyerap anggaran? Atau, jangan-jangan ada kekosongan visi fiskal jangka panjang?
Ironisnya, di tengah optimisme fiskal nasional, sejumlah provinsi justru mulai terduduk kelelahan.
Provinsi seperti Kepulauan Riau disebut Tito “sudah mepet” antara pendapatan dan belanja—hampir tak ada ruang bernapas. Lampung juga disebut harus berhati-hati karena cadangan fiskal yang makin menipis.
Tito juga mengingatkan tentang potensi bahaya dari minimnya cadangan. “Kalau ada bencana seperti banjir, cadangan yang minim akan jadi kendala. Mau tidak mau harus minta bantuan ke pusat,” ujarnya.
Pesan Tito jelas, pemimpin daerah tak hanya dituntut jago menyerap anggaran, tapi juga wajib cerdas menyisakan ruang untuk menghadapi risiko tak terduga. Dan tentu saja, harus mampu menjamin perputaran uang di masyarakat, bukan hanya sekadar mengejar angka.
Kini, pertanyaan menggantung, apakah Jawa Barat akan sekadar puas di posisi ketiga dan menghibur diri dengan “masih bagus”, atau justru menjadikan ini alarm untuk mengevaluasi total mesin fiskal mereka?
Karena, dalam dunia anggaran daerah, peringkat bukan sekadar prestise. Ia adalah cermin kepemimpinan.***
Editor : Deny Surya






