BANDUNG, BandungOke.com – Retorika “amanat” kembali bergema dari mulut Wali Kota Bandung Muhammad Farhan saat meninjau renovasi Teras Cihampelas, Jumat 11 Juli 2025.
Namun di balik jargon penuh harap itu, terselip pertanyaan lama yang belum kunjung dijawab, seberapa siap Pemerintah Kota Bandung mengembalikan kepercayaan publik atas proyek yang sebelumnya dinilai gagal fungsi?
Farhan menyebut renovasi ini bukan sekadar proyek fisik, melainkan bentuk tanggung jawab moral terhadap ruang publik.
“Kami ingin mengembalikannya ke fitrahnya, ruang publik yang nyaman, aman, dan benar-benar bisa dinikmati warga,” katanya.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ‘fitrah’ itu sudah lama terabaikan oleh kesemrawutan tata kelola, saluran air yang mampet, hingga desain skywalk yang tak berpihak pada pejalan kaki maupun pedagang.
Dalam kunjungannya, Farhan menjanjikan pengawasan ketat selama proses renovasi. Kawasan akan ditutup 24 jam penuh, sementara Satpol PP dikerahkan menjaga lokasi.
Para pedagang akan direlokasi, meskipun sampai hari ini lokasi pengganti masih sebatas “dalam pencarian”. Penggusuran tanpa solusi konkret kerap menjadi potret klasik setiap proyek infrastruktur di Kota Besar tak terkecuali Bandung
Yang menarik, tulisan “Teras Cihampelas” akan diubah arah hadapnya. Perubahan kosmetik ini digadang-gadang sebagai upaya “mengembalikan arah pandang” sesuai alur pejalan kaki.
Simbolisme semacam ini kerap dijadikan pembungkus manis, sembari menutup luka lama, konstruksi yang rapuh, saluran air tersumbat, hingga dampak banjir ke permukiman warga akibat tiang-tiang beton.
Renovasi ini digadang akan memakan waktu hingga dua tahun. Di tengah agenda ambisius itu, Farhan sudah menggandeng Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Namun pertanyaan yang lebih krusial justru belum dijawab, mengapa proyek senilai miliaran rupiah yang dibangun beberapa tahun lalu sudah harus dibongkar total?
Teras Cihampelas, sebagaimana proyek-proyek “iklan pembangunan” lain di kota besar, semestinya tak menjadi panggung pencitraan. Jika benar renovasi ini adalah amanat, maka tanggung jawab paling awal adalah menjelaskan kepada publik bagaimana proyek sebelumnya gagal dievaluasi dan mengapa audit struktural serta lingkungan tak lebih diutamakan sejak awal.
Farhan menyatakan, pembongkaran permanen masih bergantung pada kajian hukum dan lingkungan. Tapi mengingat betapa seringnya proyek serupa hanya berujung tambal sulam, wajar publik mencurigai bahwa ‘kajian’ itu hanya akan jadi alat pembenar keputusan yang sudah lebih dulu diputuskan.
Renovasi mungkin akan berjalan, tapi pertanggungjawaban tetap harus ditegakkan. Karena ruang publik bukan sekadar beton dan tiang, melainkan cermin dari bagaimana sebuah kota menghargai warganya.***
Editor : Deny Surya






