Bandung, BandungOke – Setelah empat bulan dikuasai secara ilegal oleh oknum pekerja dari Taman Safari Indonesia (TSI), Bandung Zoo akhirnya kembali ke tangan Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT).
Sejak Jumat, 18 Juli 2025, kawasan konservasi satwa yang sarat nilai sejarah ini kembali dikelola penuh oleh yayasan lokal, dalam sebuah kemenangan simbolis sekaligus kultural, pengambilalihan warisan Sunda dari pihak luar.
Bandung Zoo bukan sekadar kebun binatang
Bagi masyarakat adat Sunda, kawasan ini adalah bagian dari warisan identitas. Berdiri sejak masa kolonial, taman satwa ini merupakan representasi nilai pelestarian, pendidikan, sekaligus ruang publik rakyat Priangan.
Ketika pada Maret 2025 pihak TSI menduduki kawasan ini tanpa dasar legal yang sah, amarah pun terpicu di kalangan pegiat budaya dan masyarakat adat.
Gerakan perlawanan datang dari bawah. Serikat Pekerja Mandiri Derenten (SPMD), bersama sejumlah sesepuh Sunda, komunitas pencak silat, pegiat LSM kasundaan, hingga seniman kampung adat, bahu-membahu menolak pendudukan.
Aksi penghalauan berlangsung senyap namun konsisten sejak 2 Juli, hingga akhirnya pada 18 Juli, seluruh oknum keluar dari area Bandung Zoo.
“Atas nama pengurus, pembina, pengawas YMT dan keluarga besar Bratakusuma serta segenap karyawan Bandung Zoo, kami mengucapkan beribu terima kasih kepada seluruh sesepuh dan tokoh Sunda yang selama ini memberi dukungan, baik moril maupun materil,” ujar Gantira Bratakusuma, pembina YMT dan cucu pendiri yayasan.
Kebun Binatang atau Titik Simbolik Identitas?
Pengambilalihan ini lebih dari sekadar urusan tata kelola taman satwa. Ini adalah soal identitas dan kedaulatan budaya.
Dalam konteks kekinian, Bandung Zoo adalah panggung tarik-menarik antara profesionalisme berbasis modal besar, dan sistem pengelolaan lokal berbasis kearifan komunitas.
TSI, yang dikenal sebagai perusahaan besar di bidang konservasi dan wisata satwa, selama ini memiliki rekam jejak ekspansi ke berbagai wilayah. Tapi langkah mereka di Bandung terbukti menyalahi aturan.
Tanpa legalitas resmi, mereka menguasai Bandung Zoo sejak 20 Maret. Celakanya, pengambilalihan itu nyaris luput dari sorotan publik, jika tidak ada resistensi lokal.
Kemenangan YMT bukan hanya administratif. Ia menyentuh ranah ideologis. YMT kini menegaskan akan mengelola taman satwa ini secara profesional—tanpa kehilangan akar lokalnya.
“Kami siap memberikan pelayanan terbaik kepada publik,” kata Gantira. Ia juga memastikan bahwa izin pengelolaan dari KLHK yang berlaku hingga 2033 akan dijaga baik-baik, dengan SDM profesional di bidang masing-masing.
Bandung Zoo, Medan Pertarungan Narasi dan Kuasa
Kisah Bandung Zoo mencerminkan satu hal bagaimana situs warisan lokal bisa menjadi arena rebutan kepentingan, baik ekonomi, politik, maupun budaya.
Di tengah derasnya arus privatisasi dan komersialisasi ruang publik, kembalinya Bandung Zoo ke tangan yayasan lokal adalah anomali yang layak dicatat.
Kita sedang menyaksikan bagaimana satu ruang yang selama ini dianggap remeh—kebun binatang sejatinya memuat pertarungan makna antara “pengelolaan modern” dan kemandirian budaya lokal.
Bila YMT berhasil menata ulang Bandung Zoo tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai bagian dari warisan Sunda, maka kemenangan ini bukan hanya bersifat simbolik, tapi juga strategis.***
Editor : Deny Surya