Jakarta, BandungOke – Program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) milik Bank Indonesia yang sejatinya ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat disinyalir berubah menjadi ladang bancakan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah mengendus bau amis dugaan korupsi berjamaah dalam penyaluran dana CSR tersebut, dengan menyeret berbagai pihak dari pengurus yayasan hingga pegawai perbankan.
Aroma busuk itu tercium hingga ke Kabupaten Cirebon. Pada Jumat (25/7), dua pegawai Bank BJB Cabang Sumber dipanggil KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Mereka adalah SAF, teller bank, dan MFH, junior relationship officer, yang diduga mengetahui alur dana yang menyimpang dari relnya.
Tak hanya itu. Seorang sopir bernama SI alias ECP juga ikut dimintai keterangan. Jabatan tak lagi menjadi patokan—pengemudi pun kini bisa jadi simpul penting dalam benang kusut perkara korupsi.
“Pemeriksaan dilakukan di Polresta Cirebon atas nama para saksi yang berkaitan dengan penyaluran CSR Bank Indonesia,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dikutip Sabtu (26/7/2025)
Yayasan Amal yang Dipakai Menyaru
KPK tak main-main. Sebanyak 20 orang dipanggil dalam rentetan pemeriksaan pada Kamis (24/7) lalu. Nama-nama mereka mencuat dari balik lembaga yang seharusnya jadi penyalur kebaikan: yayasan sosial.
Di antara yang dipanggil adalah Ketua Yayasan Al Firdaus Warujaya Cirebon, Yayasan Abhinaya Dua Lima, Yayasan Al Fairuz Panongan Palimanan, Yayasan Al Kamali Arya Salingsinhan, hingga Yayasan Al Munaroh Sembung Panongan.
Bahkan nama-nama seperti Yayasan Guyub Berkah Sejahtera—yang ketuanya adalah staf Bapenda Cirebon—dan Yayasan As Sukiny yang diketuai oleh seorang guru SMPN 2 Palimanan juga disebut.
Miris. Lembaga sosial yang seharusnya jadi alat distribusi kesejahteraan, diduga justru dijadikan ‘rekening penampung’ dana CSR yang tak sampai ke masyarakat. Uang yang seharusnya untuk pembangunan, pendidikan, atau penguatan UMKM, menguap entah ke mana.
KPK Gedor Bank Indonesia, Sisir OJK
Penyidik KPK telah menggeledah dua lembaga tinggi keuangan negara. Gedung Bank Indonesia di Jalan Thamrin, Jakarta, digeledah pada 16 Desember 2024.
Tiga hari berselang giliran Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) digeledah. Dua institusi yang selama ini menjadi benteng stabilitas ekonomi, kini justru menjadi lokasi pencarian jejak dugaan korupsi.
Tak berhenti di situ, rumah anggota DPR RI Heri Gunawan juga disisir KPK. Anggota parlemen lainnya, Satori, turut diperiksa dalam perkara yang sama.
“Kami mendalami alur dan mekanisme distribusi dana CSR, serta hubungan antara penerima dan pengusul program,” ujar seorang penyidik senior KPK yang enggan disebut namanya.
Dugaan korupsi ini membuka pertanyaan besar, bagaimana sistem pengawasan internal di Bank Indonesia? Di mana posisi OJK saat dana publik berpotensi diselewengkan lewat kanal formal?
Skema CSR Rawan Jadi “Kotak Hitam”
Skema CSR sejatinya dirancang sebagai bentuk tanggung jawab lembaga terhadap lingkungan sosial. Namun lemahnya regulasi, tidak transparannya mekanisme alokasi, serta dominasi perantara (yayasan, tokoh lokal, hingga anggota legislatif) membuat program ini jadi lahan empuk untuk praktik culas.
Apalagi, dalam banyak kasus, CSR tidak tunduk pada mekanisme audit publik seperti APBN. Dana miliaran rupiah bisa dialirkan lewat “pengusul tertentu” ke “yayasan tertentu” yang nyatanya hanya kedok.
Di Cirebon, jejak korupsi itu mulai terbuka. Tapi pertanyaan besarnya masih menggantung siapa otak utamanya? Berapa besar dana yang benar-benar mengalir ke masyarakat?
Jika dugaan ini terbukti, publik layak geram. Bantuan yang seharusnya menjadi berkah bagi masyarakat malah dipetik oleh elite yang rakus. CSR Bank Indonesia, jika benar diselewengkan, adalah pengkhianatan terhadap misi keadilan sosial.***






