Bandung, BandungOke.com – Pagi itu, Bandung Zoo tidak seperti biasanya. Bukan suara siamang atau tawa pengunjung yang mengisi udara, melainkan kepanikan dan ketakutan.
Sekitar pukul 06.00 WIB, sejumlah orang yang diduga berasal dari Taman Safari Indonesia (TSI), bersama petugas berseragam, memasuki kawasan kebun binatang dengan tergesa dan dominan.
Namun bukan hanya manusia yang tertekan hari itu. Satwa-satwa yang selama ini dirawat penuh cinta oleh para pawang ikut merasakan gejolak.
Invasi itu menjalar hingga ke ruang karantina, seekor bayi orangutan bernama Tama menjadi korban paling sunyi dari kekacauan itu.
“Semua kunci kandang disita, termasuk ruang karantina tempat Tama dirawat,” tutur Sulhan Syafe’i, Humas Bandung Zoo dengan nada yang berat. Rabu (6/8/2025)
“Petugas kami terpaksa membongkar ruang isolasi secara manual, karena Tama tak bisa dibiarkan lebih lama tanpa makan dan minum. Tama bisa mati! ” katanya.
Tama bukan sembarang satwa. Ia adalah bayi orangutan yang diangkat sebagai anak asuh oleh Wali Kota Bandung, Farhan, dalam kunjungan simbolis beberapa waktu lalu. Ia mewakili harapan, pelestarian, dan wujud cinta kota ini terhadap alam.
Namun pagi itu, harapan itu dikurung bersama ketakutan. Tanpa air, tanpa asupan sejak fajar. Tubuh mungilnya tergolek lemas saat petugas berhasil membongkar ruangan. Video keadaannya yang tersebar di media sosial menyayat banyak hati.
Tama kini menjadi ikon dari krisis yang lebih besar, ketegangan antara pengelola lama Bandung Zoo dan pihak Taman Safari Indonesia.
Lebih dari itu, Tama mencerminkan pudarnya rasa hormat terhadap nilai-nilai yang selama ini dijunjung masyarakat Sunda “hade ku omong, goreng ku omong” segala sesuatu diselesaikan dengan tutur, bukan dengan tekanan seperti diutarakan tokoh Sunda, Rully H. Alfiady menanggapi peristiwa tersebut.
Lebih dari Konflik Satwa
Konflik ini bukan semata perebutan pengelolaan atau aset konservasi. Ia menyentuh ranah etik yang lebih dalam: bagaimana manusia memperlakukan kehidupan lain saat ego dan kepentingan ekonomi menutupi nurani.
Sulhan menyatakan bahwa Bandung Zoo bukan hanya tempat memelihara hewan. Ia adalah ruang hidup, warisan budaya, dan titik temu antara manusia dan alam.
“Kami tidak menjaga properti. Kami menjaga makhluk hidup yang punya emosi, punya rasa takut, dan butuh perlindungan,” ujarnya.
Pernyataan itu, dalam suasana yang masih panas, mengingatkan semua pihak bahwa tata kelola bukan hanya soal efisiensi atau keuntungan, melainkan juga peradaban.
Saat Empati Harus Jadi Pijakan
Kasus Tama menyisakan pertanyaan besar, ke mana arah konservasi jika empati tak lagi menjadi dasar? Apakah modernisasi dan profesionalisme bisa dijadikan pembenaran untuk tindakan represif terhadap makhluk hidup tak bersuara?
Di tengah krisis iklim dan ancaman kepunahan spesies, justru saat-saat seperti inilah manusia diuji. Bukan sekadar lewat teknologi atau sistem, tetapi lewat sikap dan ketulusan dalam menjaga mereka yang lemah.
Tama boleh tak bisa bicara. Tapi lewat matanya yang redup dan tubuhnya yang lemas, ia berbicara banyak hal, tentang luka, tentang harap, dan tentang apa artinya menjadi manusia.***