Bandung, BandungOke.com – Pulau Buru, di Maluku, selama ini lebih sering hadir dalam catatan sejarah politik Indonesia.
Namun, kali ini pulau itu kembali disebut, bukan karena masa lalunya, melainkan lewat sebuah ekspedisi ilmiah yang menyatukan petualangan, konservasi, dan dunia akademik.
Sejak April 2025, organisasi pencinta alam legendaris Wanadri bersama Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) menggelar “Buru Expedition: Rediscover Buru”.
Program ini berjalan hingga akhir Oktober 2025 dengan agenda berlapis mulai dari pemanjatan tebing perawan setinggi 700 meter, penelitian flora di Gunung Kapalatmada, penanaman 10.000 mangrove, sirkumnavigasi pulau dengan kayak, hingga program kesehatan masyarakat.
Ketua Tim Ekspedisi Pulau Buru, Yoppy Saragih, menekankan bahwa ekspedisi ini bukan sekadar mendaki gunung atau menantang laut. “Kami ingin menunjukkan bahwa eksplorasi alam harus tumbuh menjadi riset, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat,” ujarnya. Minggu (14/9/2025)
Langkah itu sekaligus menggeser paradigma lama penjelajahan. Dulu, ekspedisi kerap berhenti di pencapaian fisik, mencapai puncak, mengarungi sungai, atau menembus hutan belantara.

Namun, kini, para penjelajah muda diajak menyelami dimensi lain mulai dari riset flora yang tahan iklim ekstrem, penulisan jurnal ilmiah, bahkan penyusunan risalah kebijakan konservasi.
Dekan Fakultas Pertanian Unpad, Dr. Ir. Meddy Rachmadi, MP., menyebut program ini sebagai jawaban atas kegelisahan lama.
“Sejak 2010 kami bercita-cita membekali mahasiswa dengan pengalaman nyata di alam terbuka. Ilmu di bangku kuliah hanya pendukung, yang utama adalah pengalaman,” katanya.
Karena itu kami dorong mahasiswa semester 7 ikut ekspedisi, bukan sekadar mengejar SKS, tetapi juga menghasilkan data untuk skripsi. “Pulau Buru tidak seperti Jakarta yang bisa pulang-pergi. Kalau berangkat, harus tuntas dari awal hingga akhir,” tegasnya.
Meddy tidak sekadar berbicara tentang kerasnya alam, melainkan soal integrasi antara petualangan dan akademik. Di mata dia, alam terbuka adalah laboratorium hidup, tempat mahasiswa belajar integritas, kerja sama, dan komunikasi—sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya diajarkan di ruang kuliah.
Narasi serupa juga datang dari Dr. Muhammad Amir Solihin, SP., MT., Ketua Program Studi Agroteknologi Unpad. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini setara dengan 20 SKS selama satu semester, lengkap dengan rekognisi akademik.
“Mahasiswa tidak hanya mendapat SKS, tapi juga pengayaan wawasan, pengalaman lapangan, dan interaksi dengan masyarakat,” katanya.
Di situlah perbedaan mencoloknya. Ekspedisi ini bukan semata jalan-jalan ilmiah, melainkan ruang belajar alternatif yang menghubungkan buku, alam, dan masyarakat.
Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia
Dari sirkumnavigasi pesisir, mahasiswa mencatat potensi bahari. Dari penanaman mangrove, mereka memahami blue carbon dan ancaman abrasi. Dari pelatihan selam, mereka belajar bagaimana terumbu karang bisa menjadi bagian pariwisata berkelanjutan.
Koordinator/Ketua Program Pesisir Terpadu (ICDP, Integrated Coastal Development Program) di bawah Divisi Lingkungan Yayasan Wanadri, Achmad Jerry, menuturkan bahwa kegiatan di Pulau Buru ini merupakan kelanjutan dari ekspedisi Wanadri Dayung Nusantara (DJN), setelah seri Jelajah Flores pada 2023 dan Belitung pada 2024.
Menurut Jerry, program ini tidak sekadar agenda petualangan, melainkan upaya menyatukan ilmu pengetahuan, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat. “Kami ingin masyarakat Pulau Buru ikut terlibat, bukan hanya menjadi penonton. Penanaman mangrove dan terumbu karang adalah bagian penting untuk menjaga masa depan mereka sendiri,” ujarnya.
Ia mengingatkan, ancaman perubahan iklim kian nyata di wilayah pesisir Indonesia.
Pulau Buru, yang dulu hanya disebut dalam buku sejarah, kini berubah menjadi ruang belajar hidup. Di antara tebing Kaku Mahu yang sunyi, hutan Kapalatmada yang lebat, dan laut biru yang mengelilinginya, mahasiswa belajar bahwa penjelajahan alam dan perkuliahan bisa berjalan beriringan.***






