Bandung, BandungOke.com – Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali menggaungkan perlawanan terhadap praktik perkawinan anak lewat sosialisasi STOPAN Jabar 2025: Gerakan Sadar Pencatatan Nikah, Senin (15/9/2025).
Lebih dari 3.600 peserta—mulai dari penyuluh agama, penghulu, kader Motekar, hingga mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung—ikut serta dalam acara yang digelar daring ini.
Pesan utama yang berulang kali disampaikan: perkawinan anak bukan solusi, melainkan sumber masalah baru. Kepala Kanwil Kemenag Jawa Barat, H. Dudu Rohman, menyebut para penyuluh dan kader lapangan sebagai garda terdepan pencegahan.
“Penyuluh agama, motekar, dan teladan KB adalah garda terdepan untuk menyampaikan pesan bahwa perkawinan anak bukanlah solusi, melainkan sumber masalah baru bagi keluarga maupun masyarakat,” tegasnya.
Perkawinan Anak dan Celah Nikah Siri
Meski data dispensasi kawin di Jawa Barat menurun dari 4.599 kasus pada 2023 menjadi 3.361 kasus di 2024, ancaman perkawinan anak tetap nyata. Kepala DP3AKB Jawa Barat, dr. Siska Gerfianti, menyoroti praktik nikah siri yang masih marak. Menurutnya, justru di balik pernikahan tanpa pencatatan itulah kasus perkawinan anak kerap tersembunyi.
“Banyak perkawinan anak tidak tercatat dalam sistem negara sehingga data terlihat kecil dibanding realitas di lapangan. Padahal risikonya sangat besar bagi perempuan dan anak,” ujarnya.
Fenomena ini menciptakan paradoks: angka resmi menurun, tetapi praktik di lapangan sulit dikendalikan. Nikah siri bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga merampas hak dasar anak—mulai dari akta kelahiran hingga perlindungan hukum.
Administrasi Bukan Formalitas
Sosialisasi STOPAN Jabar juga menekankan pentingnya administrasi kependudukan. Menurut Hasan Yusuf dari Disdukcapil Jabar, perkawinan tercatat adalah kunci dari seluruh layanan publik. Tanpa itu, anak-anak hasil perkawinan tak tercatat berpotensi kehilangan akses ke pendidikan, kesehatan, hingga jaminan sosial.
Sementara dari sisi Kemenag, H. Toto Supriyanto mengingatkan bahwa pencatatan nikah di KUA adalah benteng terakhir perlindungan anak. “Pencatatan nikah bukan sekadar formalitas, tapi benteng perlindungan anak dan perempuan dari dampak buruk perkawinan anak,” tegasnya.
Sinergi atau Sekadar Seremonial?
STOPAN Jabar diklaim sebagai sinergi dari tiga gerakan: GISA (Gerakan Indonesia Sadar Administrasi Kependudukan), GAS (Gerakan Sadar Pencatatan Nikah), dan STOPAN (Stop Perkawinan Anak). Namun, pertanyaan kritisnya: sejauh mana kampanye ini bisa menembus ruang-ruang privat di masyarakat yang masih melegitimasi perkawinan anak sebagai “jalan keluar”?
Fakta bahwa ribuan kasus dispensasi kawin masih terjadi menunjukkan bahwa upaya hukum dan edukasi belum sepenuhnya efektif. Tanpa penegakan yang lebih tegas, STOPAN bisa terjebak jadi jargon tahunan, alih-alih gerakan yang mengubah kultur sosial.
STOPAN Jabar 2025 penting sebagai gerakan kolektif, tapi pencegahan perkawinan anak membutuhkan lebih dari sekadar sosialisasi daring.
Ia menuntut keberanian negara hadir dalam celah praktik nikah siri, memberi perlindungan nyata bagi anak perempuan, dan memastikan bahwa setiap perkawinan tercatat resmi.
Tanpa itu semua, perkawinan anak akan terus menjadi statistik yang menurun di atas kertas, namun membesar di kenyataan lapangan.***






