Bandung, BandungOke.com – Bandung Zoo atau Kebun Binatang Bandung bukan sekadar ruang untuk hewan. Namun, ia adalah fragmen sejarah kota, warisan kolonial yang berubah tangan, perjanjian bertumpuk, dan belakangan menjadi arena konflik hukum yang menggerus nama besar sebuah institusi konservasi.
Di balik akta dan surat-surat, ada nama besar tokoh Sunda Raden Ema Bratakusumah, yang meletakkan fondasi, kemudian Romly S. Bratakusumah, yang menuntun warisan dan kini ada konflik yang menodai siapa pemilik sah tanah 13,9 hektare itu.
Dari Bandoeng Zoologisch Park ke Yayasan
Sejarah kebun binatang ini menembus zaman. Didirikan pada 1933 sebagai Bandoengsch Zoologisch Park, lembaga ini menjadi ruang hiburan, pendidikan, sekaligus kebanggaan kota. Figur-figur awal seperti Hoetjer dan Houbolt tercatat dalam akta kolonial.
Transformasi besar terjadi 22 Februari 1957. Akta Notaris Lien Tanudirja mendirikan Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), menandai peralihan dari perkumpulan kolonial ke lembaga berbasis lokal. Nama Raden Ema Bratakusumah muncul di lembaran itu, sebagai figur yang mengikat warisan keluarga dengan pengelolaan kebun binatang.
Puluhan tahun kemudian, Kementerian Kehutanan mengesahkan YMT sebagai lembaga konservasi ex-situ lewat SK No. 357/Kpts-II/2003. Izin itu berlaku 30 tahun, hingga 2033.
Namun sejarah administratif tidak pernah lurus. Perjanjian sewa tanah dilakukan berulang sejak 1970, berakhir formal pada 2007, dengan bukti pembayaran terakhir Februari 2008. Celah inilah yang kemudian dipakai pihak-pihak tertentu untuk mempertanyakan legitimasi YMT.
Romly, Ema, dan Klaim Kultural atas Tanah
Dalam dokumen tertanggal 7 November 2013, Ketua YMT Drs. R. Romly S. Bratakusumah menegaskan:
“Keluarga kami sudah menguasai tanah ini sejak 1930-an, berdasarkan kesepakatan lisan dengan almarhum Raden Paiman Soemarno. Kami hanya melanjutkan apa yang diwariskan. Tidak ada niat merampas.” kata sumber internal kepada Redaksi BandungOke.com, Selasa (16/9/2025)
.
Namun, Jaksa Pengacara Negara lewat pendapat hukum 5 Mei 2014 menyebut tanah 12,5 hektare itu tercatat atas nama ahli waris Raden Paiman, Ny. Enis Paiman. Kontradiksi antara kepemilikan formal dan penguasaan faktual itulah yang jadi akar konflik.
“Ini bukan sekadar soal tanah. Bagi kami, kebun binatang adalah warisan leluhur,” kata seorang sumber internal YMT yang meminta identitasnya disamarkan. “Romly dan keluarganya dizalimi oleh manuver pengurus baru yang lebih mementingkan bisnis ketimbang sejarah.”
Tahun-Tahun Penentuan
Akhir 2010-an jadi masa krusial. Pada 5 Maret 2017, Romly menandatangani surat yang memberi kewenangan penuh kepada Tony Sumampau untuk mengelola kebun binatang bersama istrinya, Sri Devi. Surat itu belakangan menjadi dasar akta notaris yang mengubah wajah manajemen YMT.
Kerja sama dengan Taman Safari juga memperlebar jurang. Perjanjian breeding loan 2008 dan PKS 2020 membuka akses satwa baru, tapi juga menimbulkan sengketa kepemilikan anakan satwa. “Awalnya kerjasama itu dianggap solusi. Tapi ujung-ujungnya malah jadi pintu masuk pihak luar,” tutur sumber dalam yang lain.
Pernyataan Kontroversial 2021
Titik balik terjadi 6 September 2021. Tony dan John Sumampau menandatangani surat pernyataan: YMT memang mengelola kebun binatang, tetapi tidak menguasai tanah. Surat itu juga menyatakan YMT tidak akan menghalangi pengukuran tanah oleh Pemkot Bandung dan ATR/BPN.
“Bagi kami, itu seperti pengkhianatan,” kata sumber internal. “Bagaimana mungkin pengurus sebuah yayasan menafikan sejarah 80 tahun hanya dengan selembar kertas?” katanya.
Tak lama, dewan pembina YMT merespons: Tony dan John diskors, lalu diberhentikan pada Januari 2022.
Luka Personal yang Tersisa
Di luar akta dan surat resmi, konflik ini menyisakan luka personal. Nama Ema Bratakusumah tak hanya sekadar catatan sejarah. Baginya, kebun binatang adalah bagian hidup dan dedikasi keluarga.
“Kalau bukan karena Ema, mungkin Kebun Binatang Bandung sudah hilang dari peta sejak lama,” ujar seorang kerabat keluarga. “Tapi sekarang, justru nama keluarga yang dikaburkan.”
Sejarah Kebun Binatang Bandung adalah tumpukan akta, perjanjian, dan izin konservasi. Tetapi di antara lembaran itu ada jejak manusia: dedikasi, pengkhianatan, dan warisan yang digerus waktu.
Tulisan trilogi bagian pertama ini menutup pada satu simpulan: sejarah bukan sekadar memori, melainkan arena legitimasi. Tanpa kepastian hukum dan kejelasan dokumen, sejarah mudah berubah menjadi konflik.
Seri II akan mengurai bagaimana sengketa administratif itu berubah menjadi pertempuran hukum yang menentukan masa depan Kebun Binatang Bandung.***






