Bandung, BandungOke.com – Kebun Binatang Bandung kembali jadi sorotan. Bukan karena satwa langka atau wahana barunya, tapi karena “gembok” besar di pintu gerbangnya.
Sejak awal Oktober 2025, Bandung Zoo resmi ditutup sementara oleh Pemerintah Kota Bandung. Alasannya, menjaga ketertiban dan kejelasan pengelolaan aset.
Tapi di balik bahasa administratif itu, ada aroma konflik lama yang belum juga tuntas, dualisme yayasan yang sama-sama mengklaim diri sebagai pengelola sah.
Dua yayasan itu berseteru layaknya dua harimau di kandang yang sama. Keduanya mengaku paling berhak atas “rumah satwa” di tengah kota ini.
Pemerintah Kota Bandung, lewat Kepala BKAD Agus Slamet Firdaus, menegaskan posisi mereka, tidak ikut campur urusan internal, hanya memastikan lahan aset pemerintah tetap sah secara hukum.
“Pemkot Bandung tidak ingin masuk ke dalam persoalan internal. Kami hanya menjaga agar aset lahan milik Pemkot Bandung tetap tertib secara administrasi dan hukum,” ujar Agus dikutip BandungOke dari siaran pers Pemkot Bandung, Selasa (7/10/2025).
Pernyataan itu terdengar tegas, tapi juga berhati-hati. Pemkot berjarak, seolah menunggu dua pihak yang berseteru saling menenangkan diri. Namun publik bertanya-tanya, sampai kapan kebun binatang bisa dibiarkan tutup dengan alasan “proses”?
Aset Milik Pemkot, Tapi Satwa Milik Siapa?
Kebun Binatang Bandung berdiri di atas lahan milik Pemkot, itu tak terbantahkan. Sertifikat hak milik sudah terbit. Namun izin konservasi dan operasional justru berada di tangan Kementerian Kehutanan.
Di sinilah simpul keruwetan itu. Ketika dua yayasan bertikai, kementerian lamban bertindak, dan Pemkot enggan masuk, yang jadi korban adalah satwa dan masyarakat.
“Kami sudah bersurat ke Kementerian Kehutanan untuk menanyakan kejelasan izin konservasi serta arah pengelolaan ke depan,” jelas Agus.
Pemkot, katanya, bahkan mempertimbangkan pembentukan pengelola sementara hanya untuk memastikan satwa tidak terlantar selama proses hukum berjalan.
Namun keputusan itu masih “menunggu koordinasi lebih lanjut.” Kalimat yang sudah terlalu sering terdengar di banyak kasus aset publik yang tersandera dualisme.
Kebun Binatang Bukan Sekadar Lahan, Tapi Nafas Warga
Kebun Binatang Bandung bukan sekadar sebidang tanah yang bisa ditutup sesuka hati. Ia adalah bagian dari kenangan kolektif warga kota, tempat anak-anak belajar tentang alam, tempat keluarga melepas penat.
Ketika “gembok” itu terpasang, yang hilang bukan hanya suara tawa pengunjung, tapi juga denyut kehidupan ratusan satwa di dalamnya.
“Kami ingin Bandung Zoo kembali hidup sebagai ruang edukasi dan rekreasi warga,” kata Agus menutup pernyataannya.
Tapi di luar itu, publik menuntut langkah nyata, bukan sekadar harapan. Bandung Zoo adalah wajah tata kelola aset publik yang rapuh: di tengah tumpang tindih kewenangan, pemerintah tampak kuat di atas kertas, tapi gamang di lapangan.***