“Kucintai takdir ini walaupun sangatlah kejam.”
Bandung, BandungOke.com – Dalam ruang sidang Pengadilan Tipikor Bandung yang dingin dan penuh ketegangan, Raden Bisma Bratakusumah berdiri tegak.
Bukan sebagai terdakwa biasa, melainkan sebagai pewaris sebuah perjuangan panjang: menjaga Kebun Binatang Bandung sebagai warisan budaya dan ekologis orang Sunda.
Suara Bisma bergetar namun tegas, ketika ia membuka nota pembelaannya yang diberi judul puitis sekaligus tragis “Kucintai Takdir Ini Walaupun Sangatlah Kejam.”
Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada siapa pun yang mendengarnya. Ia bukan sekadar pembelaan hukum, tetapi sebuah elegi tentang cinta, warisan, dan pengkhianatan negara terhadap warganya sendiri.
Warisan yang Dipertahankan dengan Air Mata
Bisma bukan pejabat kaya yang mempermainkan aset publik. Ia adalah cucu dari R. Ema Bratakusumah, pendiri Kebun Binatang Bandung pada 1933. Seorang tokoh Sunda yang membangun taman konservasi di atas tanah Hindia Belanda untuk kepentingan rakyat, bukan keuntungan.
Dalam pledoinya, Bisma mengurai sejarah dengan air mata yang tertahan. Tentang kakeknya, R. Ema, yang menjual harta untuk membangun kembali kebun binatang pascakemerdekaan.
Tentang ayah dan pamannya, yang menjaga taman itu dengan dedikasi, bukan untuk kemegahan, tapi untuk kehidupan.
“Warisan kami bukan berupa harta, tapi tanggung jawab. Kami lahir untuk menjaga yang hidup, bukan memperkaya diri,” ujarnya.
Tapi hari ini, warisan itu berubah jadi jerat. Bisma duduk di kursi pesakitan, dituduh korupsi atas lahan yang keluarganya rawat tiga generasi.
“Adakah koruptor yang menghabiskan hartanya untuk merawat aset negara?” seru Bisma, matanya menatap ke arah majelis hakim.
Antara Cinta dan Fitnah
Dalam setiap paragraf pembelaannya, terasa kegetiran yang nyaris mistik. Ia bercerita tentang ibunya yang tua, datang ke ruang tahanan tanpa kata, hanya dengan air mata yang menetes di punggung tangan anaknya.
Tentang anaknya yang berusia tiga tahun, yang setiap kali berkunjung ke rutan selalu bertanya polos, “Ayah kenapa nggak bisa pulang?”
Dan di situ, ruang sidang tiba-tiba menjadi tempat yang sunyi, bukan karena hukum, tapi karena nurani.
“Yang mereka rampas bukan hanya kebebasan saya, tapi juga waktu saya sebagai ayah,” tulis Bisma dalam pledoinya.
“Saya hanya ingin menjaga warisan leluhur. Tapi negara justru menghukum saya karena cinta itu.”
Sunda yang Terluka
Bandung Zoo bukan sekadar ruang konservasi, tapi juga penanda identitas Sunda.
Di bawah rimbunnya pepohonan yang ditanam tiga generasi Bratakusumah, tersimpan jejak sejarah Bandung sebagai kota yang menghormati alam dan budaya.
Kini, di tangan birokrasi, taman itu menjadi arena konflik kepentingan, sengketa hukum, dan permainan politik.
“Kami bukan penjajah lahan negara,” kata Bisma. “Kami penjaga paru-paru kota yang telah kami rawat selama puluhan tahun.”
Ia menyebut dakwaan Tipikor sebagai bentuk kekeliruan moral. Bahwa sebuah sengketa administratif dijadikan perkara pidana, tanpa mempertimbangkan sejarah dan niat baik di baliknya.
“Saya tidak meminta belas kasihan. Saya hanya meminta keadilan, keadilan yang tahu bedanya antara niat jahat dan niat menjaga warisan.”
Dari Kandang Singa ke Meja Sidang
Ironis. Tiga generasi Bratakusumah mengorbankan harta demi menyelamatkan satwa, tapi justru sang pewaris kini berjuang menyelamatkan dirinya sendiri.
“Kalau saya harus dihukum karena menjaga warisan ini,” kata Bisma lirih, “maka biarlah sejarah yang membebaskan saya.”
Bisma bukan sedang melawan hukum, ia sedang melawan lupa. Melawan ketidakadilan yang membuat sejarah menjadi kabur. Dan di balik tembok pengadilan, gema kalimatnya menjadi abadi:
“Kucintai takdir ini walaupun sangatlah kejam.”
Kalimat yang meneguhkan bahwa kadang cinta kepada tanah leluhur justru harus dibayar dengan penderitaan.***