Bandung, BandungOke – Udara lembab dab cuaca panas sore itu membuat aroma tanah di Jalan Merdeka terasa lebih pekat dari biasanya.
Di dalam Anatomi Coffee, beberapa meja tersusun rapat, penuh oleh wajah-wajah tegang yang menatap ke arah panggung kecil.
Diskusi bertajuk “Tata Kelola Kebun Binatang, Mau Dibawa ke Mana?” bukan sekadar forum intelektual, melainkan ruang perasaan yang terbuka tentang sebuah tempat yang sejak lama menjadi bagian dari kehidupan warga Bandung, yakni Kebun Binatang Bandung alias Bandung Zoo.
Di antara para pembicara, suara Sulhan Syafi’i atau yang akrab disapa Aan terdengar paling tenang namun paling menyentuh hati.
Ia bukan pejabat tinggi atau akademisi, melainkan seorang manusia biasa yang setiap hari menyapa singa, memberi makan rusa, dan mengawasi puluhan kandang di tengah suasana ketidakpastian.
“Kami bukan tidak peduli terhadap aturan atau proses hukum, tapi di balik semua ini ada ratusan karyawan dan satwa yang hidupnya bergantung pada kebun binatang ini,” ujar Humas Bandung Zoo yang selalu tampil sederhana dengan nada lirih, namun penuh tekad.
Aan bercerita, pasca-penyerangan pada 6 Agustus lalu, kondisi Bandung Zoo porak-poranda. “Sekarang kami lagi bersiap-siap untuk buka. Sejak penyerangan 6 Agustus lalu, banyak fasilitas rusak, sekitar 70 kandang kunci gemboknya diganti, dan 21 CCTV rusak. Tapi kami tetap merawat satwa,” ujarnya.
Dari balik suaranya yang tenang, tersimpan kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Selama kebun binatang disegel dan fasilitas rusak, para pekerja tetap datang setiap pagi bukan untuk gaji, tapi karena ada makhluk hidup yang menunggu diberi makan.
Aan mengaku, kerugian akibat polemik ini mencapai miliaran rupiah. Namun, baginya, bukan angka itu yang paling menyakitkan. “Yang paling dirugikan adalah warga Kota Bandung, karena kebun binatang selama ini juga berfungsi sebagai pusat edukasi dan penelitian, bekerja sama dengan BRIN dan sejumlah kampus,” katanya.
Kebun binatang itu, lanjutnya, bukan hanya tempat rekreasi. Ia adalah ruang belajar hidup. Di sana anak-anak mengenal biodiversitas, mahasiswa meneliti perilaku satwa, dan warga belajar tentang keseimbangan alam.
“Kami ingin memulihkan nama baik Bandung Zoo agar masyarakat tidak menilai tempat ini buruk. Kami terus melakukan pelatihan SDM, memperbaiki kandang, dan menjaga kenyamanan pengunjung,” tambahnya.
Rumah Satwa, Cermin Manusia
Kata-kata Aan membuat ruangan hening. Di luar sana, mungkin hanya sedikit orang yang tahu bahwa di tengah konflik hukum, satwa-satwa di Bandung Zoo masih diberi makan setiap hari, bahwa gembok baru diganti bukan untuk menutup pintu, tapi untuk memastikan keamanan.
Dalam setiap gerak pekerja kebun binatang, ada pesan yang sederhana tapi dalam yakni bahwa kehidupan tidak bisa berhenti hanya karena manusia berselisih.
Bandung Zoo mungkin sedang berjuang untuk membuka kembali pintunya, tapi sesungguhnya yang ingin mereka buka adalah kepercayaan publik, bahwa tempat ini masih punya jiwa, bahwa mereka masih peduli pada hidup, bukan sekadar pada bisnis wisata.
“Kami hanya ingin Bandung Zoo tetap hidup. Bukan untuk kami, tapi untuk anak-anak yang nanti datang ke sini, untuk belajar bahwa manusia dan satwa bisa hidup berdampingan,” tutup Aan dengan suara yang nyaris bergetar.
Dipenghujung senja, kata-kata itu menggema seperti doa—doa dari para penjaga sunyi yang masih setia, agar Bandung Zoo, rumah bagi ratusan makhluk hidup itu, bisa kembali bernapas dalam damai.***






