Bandung, BandungOke – Ballroom Hotel Savoy Homann kembali jadi panggung nostalgia. Pemerintah Kota Bandung menggelar Asia Africa Youth Forum (AAYF) 2025 dengan tema solidaritas lintas bangsa.
Lampu sorot menyoroti Wali Kota Muhammad Farhan yang berpidato hangat tentang “pesan dari akar rumput.”
Namun di luar ruangan berpendingin itu, akar rumput yang dimaksud tampaknya hanya jadi jargon. Kaum muda Bandung yang tak bisa menembus undangan forum itu, justru sibuk bertanya, solidaritas macam apa yang tak menyentuh pengangguran, harga sewa kontrakan yang melonjak, atau krisis ruang publik?
Pemkot memang lihai mengemas sejarah jadi tontonan. Tapi semangat Konferensi Asia-Afrika 1955 yang dulu lahir dari kegelisahan rakyat kini lebih terasa sebagai pesta simbolik.
Wakil Wali Kota Erwin sempat menyebut kegiatan ini sebagai puncak perayaan HJKB ke-215. Namun, tanpa refleksi nyata atas kesenjangan sosial, perayaan hanya jadi panggung foto bersama tamu internasional.
“Solidaritas itu bukan sekadar tari budaya dan gala dinner. Kalau pemerintah mau bicara Asia-Afrika, ya buktikan lewat kebijakan yang berpihak pada rakyat,” kata seorang aktivis muda di kawasan Braga.
Bandung boleh menepuk dada sebagai kota sejarah. Tapi di era ini, sejarah itu kerap dijual kembali dalam bentuk event, bukan gerakan.***

 
	    	




