Bandung. BandungOke – Di halaman Balai Kota Bandung, Sabtu siang, antrean warga mengular. Mereka membawa karung berisi sampah botol, plastik, dan kardus untuk ditukar dengan sembako.
Pemerintah menyebutnya Great Bandung 2025 bentuk kolaborasi kreatif antara warga, komunitas, dan Pemkot. Tapi bagi sebagian warga, acara ini justru terasa seperti potret ironi: kota yang tak kunjung bebas dari krisis sampah kini memolesnya jadi pesta.
Ketua Great Bandung, Kiki Wirianti Sugata, menjelaskan konsep “bazar bayar pakai sampah” untuk meningkatkan kesadaran lingkungan.
Tapi di lapangan, warga yang datang sebagian besar hanya ingin beras dan minyak murah. “Lumayan, bisa belanja meski harus ngumpulin sampah seminggu,” kata Sri, warga Antapani.
Pemkot Bandung memuji kegiatan ini sebagai bukti sukses program Kang Pisman. Namun, tumpukan sampah di TPS-TPS liar dan sungai Cikapundung yang kotor justru menunjukkan kebijakan pengelolaan sampah belum menyentuh akar masalah.
“Masalah utama bukan pada warga, tapi sistem pengelolaan yang tidak jelas. TPS 3R banyak mangkrak, bank sampah tak aktif,” ujar aktivis lingkungan dari komunitas BersihBandung.
Acara ini boleh jadi viral, tapi seperti banyak kebijakan Pemkot lain, lebih kuat di simbol daripada sistem. Warga boleh menukar sampahnya dengan sembako, tapi siapa yang menukar ketidakpastian kebijakan dengan solusi nyata?***






