Jatinangor, BandungOke – Di bawah terik matahari Jatinangor, suara domba-domba yang beradu tanduk terdengar ritmis. Di Lapangan Merah Universitas Padjadjaran, akhir pekan itu, tradisi tua Priangan kembali menemukan panggungnya.
Sebanyak 600 Domba Garut tampil dalam ajang Seni Ketangkasan Domba Garut Piala Padjadjaran, menandai kebangkitan budaya yang sempat terhenti selama lebih dari satu dekade.
Namun di balik dentuman tanduk dan sorak penonton, tersimpan pesan yang lebih dalam yakni upaya serius melestarikan warisan lokal melalui jalan akademik dan ekonomi kreatif.
“Acara ini tidak hanya soal adu ketangkasan, tapi juga soal bagaimana kita menggerakkan ekonomi rakyat sekaligus melestarikan budaya,” ujar Dr. drh. Agung Suganda, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan RI dikutip Minggu (19/10/2025)
Ia menegaskan, Domba Garut bukan sekadar ikon daerah, tapi aset genetik nasional yang perlu dijaga dengan riset dan inovasi.
Rektor Unpad, Prof. Arief S. Kartasasmita, pun menyambut ide itu dengan visi yang lebih luas. Ia menggagas pembentukan Pusat Studi Domba Garut, melanjutkan riset-riset yang selama ini telah dijalankan Fakultas Peternakan.
“Dari Unpad, kita jaga tradisi ini agar tetap relevan bagi ilmu pengetahuan dan ketahanan pangan nasional,” katanya.
Bagi Denny Mulyadi, Ketua DPD HPDKI Jawa Barat, langkah Unpad ini ibarat oase bagi para peternak. “Seni Ketangkasan Domba Garut adalah seni budaya Jawa Barat. Kehadiran Unpad menjaga agar kebanggaan ini tidak hilang ditelan zaman,” ujarnya.
Penyelenggaraan tahun ini juga punya makna simbolis kembali menyatukan kampus dan masyarakat dalam satu arena budaya. Di tengah industrialisasi yang kian menggerus tradisi, acara seperti ini menjadi ruang perjumpaan antara masa lalu dan masa depan — antara tanduk dan data, antara botram dan laboratorium.
“Harapannya, kegiatan ini bisa rutin tiap tahun. Bukan hanya soal lomba, tapi silaturahmi dan tukar pengalaman antarpeternak,” tutur Prof. Rahmat Hidayat, Dekan Fakultas Peternakan Unpad.
Dan di tengah semua itu, para mahasiswa muda dari Paguyuban 30 jadi saksi bahwa budaya Sunda masih hidup di nadi kampus. Mereka bukan hanya menghidupkan lagi tradisi yang lama tertidur, tapi juga menjadikannya relevan di era baru: era di mana domba, budaya, dan ilmu bisa beriringan.***






