Bandung, BandungOke – Di tengah meningkatnya kekhawatiran atas kasus kekerasan yang melibatkan anak dan perempuan, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menggemakan perlawanan terhadap budaya kekerasan.
Seruan itu meluncur pada peluncuran program Sekolah dan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak (Senandung Perdana) di Kecamatan Cidadap, 28 Oktober 2025.
Farhan memahami bahwa kekerasan bukan sekadar tindakan fisik, melainkan produk relasi kuasa yang timpang. Namun, kritik muncul karena program ini dinilai hanya menjangkau permukaan jika birokrasi tak dibenahi.
“Kekerasan justru menjadi kebudayaan,” ujarnya sebuah pengakuan bahwa persoalan sudah menahun.
Program Senandung Perdana diklaim menyatukan edukasi dan penanganan simultan lewat RS, kepolisian, dan dinas terkait.
Namun, publik mempertanyakan kesiapan struktur di bawahnya: jumlah personel terbatas, penanganan lamban, hingga stigma sosial yang masih berurat-akar.
Farhan menyebut tiga kunci penanganan yakni layanan, cepat, tanggap. Sayangnya, indikator operasionalnya belum terang, siapa yang bertanggung jawab, bagaimana sistem pengawasan bekerja, dan bagaimana memastikan tidak ada kasus yang berlarut-larut?
Sinyal positif datang dari DP3A yang melaporkan tren penurunan kasus kekerasan perempuan dalam tiga tahun terakhir. Namun, data soal anak belum mengarah stabil.
Aplikasi Senandung Perdana ditawarkan sebagai kanal pelaporan. Pertanyaan kritisnya: apakah masyarakat siap memanfaatkan platform digital ketika banyak kasus justru lahir dari lingkup terdekat, termasuk keluarga?
Upaya Pemkot terbilang progresif. Namun, tanpa revisi struktural, terutama soal pendampingan hukum, integrasi pendanaan, hingga pemulihan korban, maka Senandung Perdana berisiko menjadi slogan baru tanpa gigi.***






