Bandung, BandungOke — Program B2SA Goes to School yang digelar PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) mungkin terlihat sebagai kegiatan edukasi biasa.
Tetapi jika ditarik lebih jauh, langkah ini menyentil persoalan besar bangsa ketergantungan kronis pada beras yang tak kunjung diselesaikan, meski diversifikasi pangan sudah diwacanakan selama puluhan tahun.
B2SA menyasar 721 pelajar SD dan SMP di Bandung. Namun dampaknya diproyeksikan jauh lebih besar pembentukan pola pikir alternatif bahwa “kenyang tidak harus nasi”. Sebuah gagasan sederhana yang ironisnya masih sulit diterima di negeri dengan varietas pangan lokal yang melimpah.
Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Bapanas, Rinna Syawal, bahkan menegaskan perubahan paradigma ini sudah mendesak:
“Kenyang itu tidak harus selalu dengan nasi. kini konsep 4 Sehat 5 Sempurna telah diperbarui menjadi B2SA untuk mendorong pemahaman gizi yang lebih tepat.” kata Rinna dalam keterangan resminya. Kamis (20/11/2025)
Pernyataan itu bukan sekadar slogan. Ia menyiratkan bahwa pemerintah sadar betapa beratnya melawan budaya konsumsi tunggal yang telah terbentuk puluhan tahun.
Mengapa Sorgum? Karena Kita Terus Gagal Menggarap Potensi Pangan Lokal
Pertanyaan paling fundamental kenapa negara sebesar Indonesia baru serius bicara sorgum sekarang?
Selama bertahun-tahun, program diversifikasi pangan episode demi episode diluncurkan ubi, jagung, sagu, hingga porang namun tak satu pun benar-benar berkelanjutan. Banyak yang berhenti di tataran seremoni, minim teknologi, tanpa ekosistem hilir yang memadai.
Di titik ini, masuknya PTDI, perusahaan dirgantara ini terasa tidak lazim tapi justru relevan. Indonesia kekurangan aktor industri yang mau menggarap teknologi pangan alternatif secara serius. PTDI mencoba mengisi kekosongan itu.
PTDI Ambil Peran Hulu, Teknologi Jadi Kunci yang Selama Ini Hilang
PTDI membawa sesuatu yang selama ini absen dalam proyek diversifikasi yakni kekuatan teknologi dan industrialisasi.
Mereka mengembangkan mesin pengolahan sorgum, membangun Sorghum Center bersama Unpas sejak 2023, serta memberikan pelatihan bagi petani dan UMKM.
Ini penting, karena diversifikasi pangan tak akan pernah berhasil jika hanya berhenti pada seminar dan slogan.
Direktur Produksi PTDI, Dena Hendriana, menegaskan posisi perusahaan:
“Sorgum memiliki potensi besar sebagai komoditas pangan alternatif Suatu kehormatan bagi kami dapat berpartisipasi dalam B2SA Goes to School untuk memperkenalkan sorgum sebagai sumber pangan sehat pengganti beras.” ujarnya.
Masalahnya, industri pangan alternatif di Indonesia terlalu sering berjalan tanpa kepastian hilir, tanpa jaminan pasar, dan tanpa backbone teknologi. Upaya PTDI ini menjadi ujian, apakah proyek sorgum akhirnya bisa menembus siklus kegagalan program-program sebelumnya.
Tantangannya Masih Berat, Budaya Makan, Rantai Pasok, dan Politik Pangan
Keberadaan edukasi sorgum di sekolah memang langkah progresif. Namun realistisnya, jalan panjang masih menanti:
1. Kebiasaan nasional: nasi tidak hanya makanan, tetapi identitas. Mengubahnya bukan perkara 1–2 generasi.
2. Minim insentif produksi: petani hanya akan menanam sorgum jika pasar dan harga jelas.
3. Hilir industri lemah: tanpa produk olahan masif, sorgum hanya akan menjadi komoditas pinggiran.
4. Politik pangan: kebijakan beras terlalu dominan, membuat pangan alternatif tidak pernah mendapat ruang memadai.
Upaya PTDI–Bapanas mungkin mampu menjebol tembok pertama, tetapi tanpa orkestrasi nasional yang menyentuh pasar, industri, dan petani, sorgum berisiko mengulang nasib komoditas alternatif sebelumnya.
Jika Ekosistemnya Kuat, Sorgum Bisa Jadi Game Changer
Meski demikian, momentum ini layak dicatat. PTDI terlihat mengambil langkah serius, mulai dari teknologi, riset, ekosistem, budidaya, hingga edukasi. Kolaborasi dengan Dinas TPH Jabar di Cirebon untuk memperluas penanaman menjadi sinyal kuat bahwa geliat sorgum tak hanya berhenti di ruang seminar.
Jika konsisten dan tidak terjebak pola lama program jangka pendek, sorgum bisa menjadi komoditas strategis dalam menghadapi:
1. Perubahan iklim,
2. Ketergantungan impor,
3. Krisis pangan global,
dan 4. kebutuhan pangan sehat generasi muda.
Tetapi kuncinya sederhana dan keras, ekosistem, bukan seremoni. Teknologi, bukan sekadar kampanye.***






