Bandung, BandungOke – Dalam sorotan terang Bandung Investment Summit 2025, Kota Bandung dinarasikan sebagai wilayah dengan potensi ekonomi besar, kreatif, dan menjanjikan bagi investor.
Namun di balik panggung yang rapi itu, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan justru membongkar paradoks yang sudah lama menempel di tubuh kota Bandung yang tampak kaya, tetapi warganya tidak merasakan kekayaan itu.
“Pendapatan per kapita kami sudah Rp147,08 juta, tapi pengeluaran masyarakat baru Rp18,79 juta. Distribusi pendapatan jelas belum merata,” ungkap Farhan dikutip Rabu, (26/11/2025)
Pernyataan itu menjadi seperti tamparan keras, bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk ekosistem investasi yang selama ini diagung-agungkan.
Bagaimana bisa sebuah kota yang pendapatannya nyaris menyentuh kelas metropolitan, ternyata hanya menggerakkan uang belanja tak sampai seperdelapannya?
Ini bukan sekadar anomali statistik, ini indikator ketimpangan akut. Ada kelompok kecil yang menikmati kue ekonomi, sementara mayoritas hanya mendapat remah-remahnya.
Dengan lugas Farhan menegaskan bahwa investasi Bandung masih rendah dan tak didistribusikan merata. Kota ini butuh modal yang masuk tidak hanya untuk membangun gedung atau ruang kreatif, tetapi untuk memperbaiki struktur kesejahteraan yang timpang. Tanpa itu, Bandung akan tetap menjadi “kota cantik dengan isi kosong.”
Bio Farma Mendapat Penghargaan, Namun Pertanyaannya, Sudah Cukupkah Dampaknya?
Di panggung yang sama, Bio Farma menerima predikat Pelaku Usaha PMDN Terbaik 2024. Prestasi yang memang layak dicatat — tapi juga layak dipertanyakan lebih jauh.
Di saat Bandung berkutat dengan ketimpangan, BUMN sebesar Bio Farma tampil mulus dengan pencapaian yang nyaris tanpa cela.
Sekretaris Perusahaan Bio Farma, Bambang Heriyanto, menyampaikan bahwa perusahaan berkomitmen memperkuat industri kesehatan nasional dan memastikan setiap investasi berdampak. Namun di sinilah kritik itu muncul: dampak untuk siapa? Dan sejauh apa?
Investasi Bio Farma selama ini banyak bergerak di lingkaran industri vaksin, riset biologi, dan fasilitas produksi sebuah investasi jangka panjang yang strategis, namun tidak serta-merta menetes ke masyarakat Bandung yang daya belinya stagnan.
Di kota tempat mereka berdiri, ekonomi mikro yang menjadi denyut keseharian warga tidak tersentuh signifikan oleh geliat korporasi besar tersebut.
Bio Farma memang patuh dalam pelaporan LKPM, memperluas kapasitas, dan menyerap tenaga kerja. Namun dalam konteks kesenjangan Bandung yang menganga, langkah itu masih terasa elit dan tidak membumi.
Sebuah perusahaan sebesar Bio Farma mestinya mampu menjadi jangkar ekonomi kota bukan sekadar institusi yang berkilau dalam laporan kinerja.
Menguji Komitmen: Kota dan BUMN Harus Turun ke Tanah, Bukan Berjalan di Awan
Bandung tidak kekurangan penghargaan, investor, atau narasi kreatif. Yang kurang adalah investasi yang terasa oleh warga, yang bisa menutup jurang antara pendapatan besar dan pengeluaran kecil.
Jika modal hanya berputar di sektor-sektor yang menyasar kelas menengah atas atau industri besar, maka ketimpangan tidak akan pernah mengecil.
Bandung butuh investor yang mau menggarap sektor UMKM bawah, pendidikan vokasi, inovasi terapan, dan industri padat karya — bukan hanya korporasi besar yang membangun kapasitasnya sendiri.
Bio Farma sudah berlari, tetapi Bandung butuh lebih dari sekadar pelari tunggal. Kota ini membutuhkan pemain besar yang tidak takut turun ke jalanan ekonomi yang sebenarnya: warung, bengkel kecil, UMKM rumahan, koperasi, ekosistem produksi kecil-menengah — tempat kesenjangan itu tumbuh paling nyata.
Jika tidak, Bandung akan tetap kaya di layar presentasi, tetapi miskin di lembar pengeluaran masyarakat. Dan kesenjangan itulah yang akan terus menjadi luka terbuka kota ini.***






