Bandung, BandungOke – Banjir dan longsor yang melanda Sumatera kembali membuka luka lama yakni tata kelola lingkungan yang compang-camping dan perizinan yang kerap diberikan tanpa kehati-hatian.
Kritik tajam datang dari Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat, Iu Rusliana, yang menyebut bencana ini sebagai “peringatan keras” terhadap perilaku perusakan alam yang terus dibiarkan.
“Jangan ada kebijakan yang ugal-ugalan, memberikan izin sembrono padahal jelas merusak alam. Korupsi kebijakan yang merusak itu nyata, dan dampaknya kini ditanggung masyarakat,” ujar Iu dalam pernyataan yang disampaikannya menyusul gelombang bencana yang menelan korban jiwa. Selasa (2/12/2025)
Dalam nada prihatin namun tegas, ia mengingatkan bahwa rentetan bencana bukan sekadar fenomena alam, melainkan akumulasi dari keputusan jangka panjang yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Banjir bandang yang membawa kayu-kayu gelondongan, tanah longsor yang menerjang pemukiman, hingga rusaknya habitat satwa liar, semuanya menjadi bukti bahwa kerusakan ekosistem terjadi secara sistematis.
Solidaritas Warga Mengalir, Tapi Jangan Ada Penunggang Gelap
Ketika ribuan warga Sumatera berjuang menyelamatkan keluarga dan harta benda yang tersisa, Muhammadiyah menyerukan solidaritas nasional. “Duka saudara kita di Sumatera adalah duka kita semua,” kata Iu.
Namun ia mengingatkan bahaya lain di tengah situasi genting yakni pihak-pihak yang memanfaatkan momen untuk menggalang dana namun tidak menyalurkannya.
“Jangan sampai ada yang mencari keuntungan dengan menjadi lembaga penerima amal namun tidak menyalurkan. Salurkan ke lembaga yang sah,” tegasnya.
Muhammadiyah Jawa Barat dan Pusat telah turun tangan melalui jalur resmi Lazismu, yang sejak awal bergerak mengoordinasikan bantuan logistik, evakuasi, dan pendampingan korban.
Bencana sebagai Alarm Moral dan Politik
Nada kritik Iu Rusliana menyorot kegagalan tata kelola lingkungan oleh pemerintah, dari pusat hingga daerah. Pernyataannya mencerminkan keresahan masyarakat sipil yang menilai bahwa kerusakan alam tidak datang tiba-tiba ia dibangun oleh akumulasi kebijakan yang permisif terhadap eksploitasi.
Mulai dari pembukaan lahan tanpa kajian, pemberian izin pertambangan, pembalakan liar yang disebut “seolah dibenarkan,” hingga lemahnya pengawasan lapangan semuanya menjadi bagian dari hulu bencana yang kini dipikul warga.
Iu menegaskan bahwa solidaritas masif masyarakat harus berjalan paralel dengan koreksi serius terhadap kebijakan negara. Tanpa itu, bencana hanya akan menjadi siklus tahunan yang kembali menghantam warga di garis paling rentan.
Dalam situasi ketidakpastian ini, seruan moral dari Muhammadiyah terasa seperti tamparan keras, “Bencana ini adalah pengingat agar kita tidak lagi merusak alam. Jangan ada lagi kebijakan yang ugal-ugalan.” pungkasnya.***






