Bandung, BandungOke – Gelombang bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan wilayah sekitarnya sejak 24 November 2025 menandai salah satu episode bencana hidrometeorologi terbesar tahun ini.
Data BNPB korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor di Sumatera per Senin (1/12/2025 ) petang korban meninggal sebanyak 604 orang, serta ribuan penduduk mengungsi. Korban dan kerusakan diperkirakan masih dapat bertambah.
Di balik besarnya dampak, para ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB), khususnya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), menekankan bahwa bencana tersebut merupakan hasil interaksi kompleks antara atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah. Dengan kata lain, cuaca ekstrem bukan satu-satunya aktor.
Atmosfer di Puncak Musim Hujan: Hujan Ekstrem yang Tak Terhindarkan
Ketua Program Studi Meteorologi ITB, Dr. Muhammad Rais Abdillah, menjelaskan bahwa Sumatera bagian utara tengah memasuki fase puncak musim hujan.
Wilayah ini memiliki pola hujan unik—curah hujan hadir sepanjang tahun, dengan dua puncak intensitas dalam satu siklus.
“Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan. Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun dan saat ini berada pada puncaknya,” ujarnya.
Data lapangan menunjukkan curah hujan lebih dari 150 mm, bahkan sejumlah stasiun BMKG mencatat di atas 300 mm, angka yang masuk kategori ekstrem. Perbandingannya jelas: banjir besar Jakarta 2020 dipicu curah hujan sekitar 370 mm dalam sehari. Dengan intensitas mendekati itu, tak heran banjir dan longsor di Sumatera Utara menimbulkan kerusakan seluas ini.
Siklon Tropis Senyar: Mesin Penguat Presipitasi
Hujan ekstrem tersebut tidak berdiri sendiri. Faktor atmosfer regional turut memperkuatnya. Dr. Rais menjelaskan adanya indikasi pusaran siklonik sejak 24 November, berasal dari kawasan Semenanjung Malaysia.
“Saat itu sudah terlihat sistem berputar. Kami menyebutnya vortex, meskipun masih bibit dan matanya belum jelas,” katanya.
Bibit tersebut kemudian berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar, terbentuk di sekitar Selat Malaka dan bergerak ke barat. Meski tidak sekuat siklon pada umumnya, Senyar cukup untuk:
1. meningkatkan suplai uap air,
2. memperkuat pertumbuhan awan konvektif,
3. memperluas area hujan intens di Sumatera bagian utara.
Tidak hanya itu, dinamika atmosfer skala meso dan sinoptik seperti vortex siklonik dan indikasi cold surge vortex—hembusan angin kuat dari utara yang membawa massa udara lembap—semakin memadatkan awan hujan, membuat presipitasi berlangsung lebih lama dan lebih intens.
Daya Tampung Wilayah Tak Lagi Mampu Mengimbangi
FITB ITB menegaskan bahwa intensitas hujan hanyalah satu sisi dari persoalan. Banjir dan longsor menjadi sangat destruktif karena kapasitas tampung wilayah telah melemah.
Topografi curam, alih fungsi lahan, dan rendahnya kemampuan infiltrasi membuat air hujan tidak tertahan dan langsung meluncur sebagai aliran permukaan besar.
Hasilnya, banjir bandang dan longsor terjadi serentak di banyak wilayah, memperlihatkan kegagalan sistemik dalam tata ruang dan mitigasi.***
Editor : Deny Surya






