Bandung, BandungOke – Bandung, kota dengan sejarah panjang kreativitas dan geliat seni urban, kembali meneguhkan diri sebagai pusat seni pertunjukan di Jawa Barat.
Pagelaran “Dramatari Nyi Sumur Bandung 2.0” di Padepokan Seni Mayang Sunda, Senin (1/12) malam, menjadi bukti bahwa ekosistem kebudayaan di Kota Kembang tak sekadar hidup—tetapi berkembang dengan ambisi baru.
Dramatari ini mengangkat kisah pantun klasik Nyi Sumur Bandung, ditulis ulang oleh dramaturg Ayo Sunaryo. Dengan pendekatan koreografi kontemporer yang tetap berpijak pada tradisi Sunda, karya ini tampil sebagai jembatan antara legenda tua dan sensori panggung masa kini.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, hadir menyaksikan langsung gelaran tersebut. Dalam sambutannya, Farhan menilai Bandung memiliki peluang besar menjadi rumah produksi koreografi terbaik di Indonesia.
“Saya bermimpi Bandung dikenal sebagai kota dengan karya koreografi terbaik, bahkan bisa menyaingi Batu Bulan di Gianyar, Bali,” ujarnya.
Farhan juga memuji konsistensi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) dalam merawat tradisi seni pertunjukan lokal. Ia menegaskan bahwa mimpi besar kota tak akan tercapai tanpa kerja keras institusi kebudayaan.
“Terima kasih kepada Disbudpar yang sudah menjawab tantangan menghadirkan event koreografi secara berkelanjutan,” katanya.
Antusiasme Publik Melejit: 700 Penonton Penuhi Padepokan
Pada penampilan kedua ini, antusiasme publik mengalami lonjakan. Kepala Disbudpar Kota Bandung, Adi Junjunan, menyebut sekitar 700 penonton hadir meski hujan mengguyur kawasan pertunjukan. Bandingkan dengan gelaran perdana pada 18 November di Dago Tea House yang hanya dikunjungi 350–400 orang.
“Mereka datang dari beragam latar: seniman, mahasiswa, komunitas budaya, hingga masyarakat umum,” ujar Adi. Peningkatan ini, menurutnya, menjadi sinyal kuat bahwa karya drama tari lokal masih punya tempat luas di hati publik urban.
Tantangan Panggung Arena, Eksplorasi Artistik yang Lebih Kompleks
Berbeda dari pementasan sebelumnya, “Nyi Sumur Bandung 2.0” digelar di panggung arena. Format ini menuntut eksplorasi gerak yang lebih teliti: blocking, ritme, hingga komposisi visual harus diolah agar dapat dinikmati dari berbagai arah.
“Produksi menjadi lebih kompleks, tapi menghasilkan pengalaman menonton yang lebih imersif,” kata Adi.
Ia menekankan bahwa keberhasilan pementasan ini adalah buah kerja keras tim kreatif dan para pelaku seni yang berupaya menyajikan pengalaman baru bagi penonton.
“Kami berharap kegiatan ini menjadi agenda berkelanjutan untuk melestarikan tradisi Sunda serta memperkuat ekosistem seni pertunjukan di Bandung,” tambahnya.
Pagelaran “Nyi Sumur Bandung 2.0” bukan hanya pertunjukan seni. Ia adalah penanda bahwa Bandung sedang membangun ekosistem kebudayaan yang lebih matang, modern, dan kompetitif—sebuah investasi jangka panjang untuk identitas kota dan pariwisatanya.***






