Bandung, BandungOke – Pangalengan kembali menjadi panggung kelam tata kelola lingkungan di Jawa Barat.
Di balik hijaunya perkebunan teh, WALHI Jawa Barat menuding ada operasi sistematis yang telah berlangsung lebih dari dua dekade: alih fungsi kebun teh menjadi lahan sayuran dengan restu bahkan dorongan dari PTPN sebagai pemegang HGU.
Wahyudin, Koordinator WALHI Jabar, menyebut perusakan itu bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi kejahatan lingkungan yang berpotensi memicu bencana besar di kawasan hulu Bandung Selatan.
“Pengrusakan kebun teh Pangalengan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Daya serap air hilang, apalagi pohon-pohon itu ditebang pakai beko. Pada musim hujan, risiko run off meningkat dan tanah bisa tergerus, memicu banjir bandang,” ujar Wahyudin. Selasa (2/12/2025)
Alih Fungsi 150 Hektare? WALHI: Angkanya Bisa Jauh Lebih Besar
PTPN merilis angka 150 hektare lahan yang disebut bermasalah. Namun WALHI menilai klaim itu jauh dari realita lapangan. Wahyudin menyebut praktik alih fungsi lahan sudah menjadi pola bertahun-tahun, melibatkan kerja sama antara PTPN dan perusahaan atau individu bermodal besar untuk menanam komoditas bernilai tinggi seperti kentang.
“Dugaan kuat kami, selama 20 tahun PTPN sendiri yang membuka pintu kerja sama dengan pemodal. Itu jelas keliru, bahkan melanggar aturan. Lahan teh tidak boleh dialihfungsikan.”
Di banyak titik, tanaman teh ditebang habis dan diganti dengan sayuran. Konversi ini, menurut WALHI, menghapus fungsi ekologis penting kebun teh: menahan air dan menjaga kestabilan tanah.
Risiko Bencana Meningkat
Menurut WALHI, perubahan itu memicu kerentanan tinggi terhadap bencana hidrometeorologi.
“Larian air saat hujan akan menggerus tanah dan mengirim sedimentasi ke sungai-sungai kecil. Itu pemicu kuat banjir lumpur,” tegas Wahyudin.
Di kawasan rawan bencana seperti Pangalengan, langkah ini dianggap sembrono dan mengabaikan keselamatan warga.
Pemerintah Dinilai Lalai Mengawasi PTPN
WALHI juga menyoroti lemahnya kontrol pemerintah terhadap pengelolaan HGU PTPN. Wahyudin menyebut tidak pernah ada audit serius terhadap PTPN meski dugaan pelanggaran berlangsung bertahun-tahun.
“Selama HGU di kantongi PTPN, tidak pernah ada audit. Pemerintah seperti tidak tahu fakta-fakta kerja sama yang menyebabkan alih fungsi lahan ini,” ujarnya.
Di Kabupaten Bandung, WALHI menemukan indikasi ribuan hektare HGU PTPN yang masa izinnya telah habis tetapi tetap dikerjasamakan kepada pihak lain. Padahal, jika HGU berakhir, pilihan hanya dua: diperpanjang atau dikembalikan ke negara.
Namun karena minim kontrol, yang terjadi justru sewa-menyewa raksasa antara PTPN dan kelompok pemodal.
WALHI Desak Pemerintah Turun Tangan
Wahyudin menegaskan pemerintah harus menindak tegas pelaku utama, termasuk melakukan audit HGU dan menyelidiki dugaan keterlibatan oknum internal PTPN.
“Usut secara tuntas. Dalang utamanya diduga oknum PTPN sendiri. Audit HGU wajib dilakukan karena selama ini lahan itu tidak memberi kesejahteraan bagi masyarakat maupun lingkungan,” katanya.
WALHI mendesak kementerian terkait, mulai dari ATR/BPN hingga KLHK, membuka data lengkap HGU dan mengakhiri praktik-praktik penyalahgunaan yang merusak bentang alam Pangalengan.***






