Bandung, BandungOke — Pagi itu, rumah-rumah di RW 5 Ciumbuleuit masih berdiri seperti biasa. Namun bagi dua keluarga—rumah Yayat dan rumah Tia—status “tinggal di rumah sendiri” resmi dicabut.
Pemkot Bandung menetapkan bangunan mereka tidak lagi layak huni, fondasi bergeser, dan seluruh struktur berada di tepi lereng yang setiap saat bisa runtuh.
Bukan ancaman abstrak; tanah di belakang rumah telah bergerak, bambu yang sebelumnya menopang kini menjadi “tiang penahan bencana”.
Perintah evakuasi turun cepat. Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, datang langsung, tidak untuk basa-basi, melainkan memastikan keluarnya dua keluarga dari zona bahaya. Suasananya tanpa dramatisasi, tetapi tegang.
“Dalam kondisi seperti ini, tidak ada pilihan lain. Kalau harus diungsikan, ya diungsikan. Bangunan bisa diperbaiki nanti, tapi nyawa tidak bisa digantikan,” tegas Farhan. Selasa (2/12/2025)
Kehadiran Farhan di lokasi bukan sekadar simbol empati. Ia menyaksikan sendiri fondasi yang retak dan struktur bangunan yang kini bergantung pada kontur tanah yang rapuh. Ia menyebut dua rumah itu sudah masuk fase darurat.
“Struktur tanahnya tidak stabil. Bahkan rumah ini hanya tertahan rumpun bambu. Risiko terlalu besar jika tetap ditinggali,” ujarnya.
Pemkot memindahkan dua keluarga itu ke hunian aman di wilayah Ciumbuleuit. Dinas Sosial turun mengurus kebutuhan dasar mereka. RW, kelurahan, dan kecamatan bergerak cepat—pola respons yang jarang terlihat dalam kasus-kasus bencana kecil yang sering terabaikan.
Namun Gatra melihat isyarat lain: evakuasi dua rumah ini hanyalah permukaan dari persoalan jauh lebih besar. Bandung Utara—Ciumbuleuit, Ledeng, Tamansari, hingga Isola—telah lama menjadi area dengan tekanan pembangunan berat.
Rumah-rumah menempel di lereng curam layaknya puzzle tanpa ruang bernapas. Hujan ekstrem mempercepat kerentanan yang sejak lama ditabung.
Farhan tidak menutupinya. Ia menyebut sejumlah zona yang sudah masuk kategori rawan tinggi. Bandung Timur pun tak lebih aman. Ujungberung, Cibiru, dan Mandalajati mengirim sinyal ancaman serupa akibat aliran longsoran dari kawasan Gunung Manglayang.
“Kita sedang menghadapi musim ekstrem. Semua warga di zona rawan harus waspada dan segera melapor jika melihat retakan tanah, pergeseran fondasi, atau tanda-tanda awal longsor,” kata Farhan.
Pemkot kini mengintensifkan patroli wilayah, memeriksa ulang titik-titik yang selama ini dianggap stabil, dan—yang paling penting—membuka opsi peninjauan ulang tata ruang. Bandung selama ini kerap kalah cepat oleh pembangunan permukiman yang memaksakan diri menempel pada lereng. Bencana ini memaksa pemerintah melihat ulang prioritasnya.
“Terpenting saat ini adalah pencegahan. Lebih baik bertindak sebelum terjadi, daripada menyesal ketika bencana sudah terjadi,” ujar Farhan.
Bagi warga setempat, evakuasi ini menjadi bukti bahwa keadaan sudah tidak bisa dinegosiasikan. Ketua RW 5, Tata Rusandi, memastikan dukungan penuh.
“Kami akan menyiapkan tempat sementara dan memastikan warga yang terdampak tetap mendapatkan kenyamanan, seperti yang telah Pak Wali arahkan. Kami bersyukur pemerintah bertindak cepat,” ucapnya.
Namun persoalan Cidadap tidak selesai dengan pengungsian dua keluarga. Yang dipertaruhkan adalah bagaimana kota memosisikan diri di tengah perubahan iklim dan tekanan permukiman. Apakah Bandung siap membuat keputusan sulit: membatasi hunian di lereng curam dan menyusun ulang tata ruang?
Evakuasi ini hanyalah episode kecil dari novel panjang kerentanan ekologis Bandung. Alarmnya sudah berbunyi—keras, tajam, dan disebut dengan nama: Ciumbuleuit. Pemerintah bergerak, warga bersiaga. Langkah selanjutnya jauh lebih berat: memastikan tragedi tidak menunggu giliran.***






