Bandung, BandungOke – Ketika Wali Kota Bandung Muhammad Farhan meminta warga “menahan diri,” publik justru bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang tak mampu menahan diri? Konflik lahan Sakura Sukahaji telah berulang kali meletup, dan seperti biasa, pemerintah daerah datang hanya sebagai pemadam kebakaran—bukan pengurai akar masalah.
Pernyataan Farhan terdengar normatif: kekerasan tak menyelesaikan masalah, hormati proses hukum, jangan terprovokasi. Tetapi warga di lapangan tahu, eskalasi tidak muncul tiba-tiba.
Ada pengosongan paksa yang berjalan pagi-pagi, ada alat berat yang bergerak sebelum mediasi tuntas, dan ada tekanan yang dirasakan masyarakat sebelum aparat datang menenangkan keadaan.
Di balik kata “kondusif” yang disampaikan Pemkot, ada kenyataan bahwa situasi baru terkendali setelah kecamatan, kepolisian, dan intel Polrestabes Bandung menyetop kegiatan perataan lahan. Artinya, tanpa intervensi itu, konflik mungkin sudah membesar.
Tokoh masyarakat Sukahaji digalang secara cepat, seolah-olah pemerintah baru ingat bahwa konflik sosial tak pernah bisa diselesaikan secara teknis semata.
Langkah koordinasi memang membuahkan hasil: pukul 11.30 seluruh aktivitas dihentikan. Tetapi tidak dijelaskan mengapa kegiatan pengosongan bisa berjalan begitu agresif sejak awal.
Farhan menyebut Pemkot siap hadir menjadi bagian dari solusi. Namun di Sukahaji, kehadiran itu kerap terlambat satu langkah. Warga berharap lebih dari sekadar imbauan damai; mereka menunggu keberpihakan pada keadilan dan kepastian hukum yang tidak memihak pemilik alat berat semata.
Di wilayah yang kerap bersinggungan dengan sengketa tanah ini, kedamaian bukan sekadar imbauan. Ia harus dibangun dari kejelasan status lahan, bukan sekadar permintaan “jangan terprovokasi”. Dan sampai itu terjadi, kata “kondusif” hanya akan menjadi kabut tebal yang menutupi bara masalah sebenarnya.***
Editor : Deny Surya






